Umur memanglah hal yang abstrak, boi. Kau dan aku sama-sama
tak tahu dimana titik akhirnya. Ketika lengkungan waktu dan denting detik
milikmu harus terhenti, aku tak pernah tahu.
Kenapa kau tak memberitahu
padaku sebelumnya, Ver? Kenapa…? Kau tahu sakitnya kehilangan, bukan?
Bahkan ketika kau telah pergi, aku masih saja sibuk mencari.
Mencari pembenaran atas kehilangan dirimu… Atas rasa sakit yang telah kau
tancapkan begitu dalam…
Aku tak pernah merasa lebih sendiri daripada saat ini. Memikirkan
tentang persahabatan kita yang berjalan cukup rancu. Ah, rancu… kita sama-sama
tahu hal itu. Sebuah persahabatan yang selalu saja berhasil meninggalkan senyum
kecil kala aku mengingatnya kembali.
Lalu, jika aku rindu
padamu, bagaimana caraku memberitahu?
Saat buku usia milikmu telah ditutup oleh Tuhan… masih
bolehkan aku egois? Menuduhmu telah menyakitiku? Kau pergi (lagi)… Tapi kali
ini tak akan kembali…
Karena berpulang
hakikatnya menggoreskan luka pada yang ditinggalkan…
Tapi aku tahu, boi. Tentulah berpulang sangat menyenangkan
bagi dirimu, bagi sosok yang meninggalkan. Mungkin jalan ini adalah yang
terbaik bagimu. Jawaban atas segala sakit yang selalu kau tahan. Panggilan atas
masa depan yang seringkali kau cemaskan.
Kita harus berakhir, bahkan pada apa yang belum kita mulai...
Hingga saat ini, kita
masih bersahabat, kan?
Apakah sekarang kau
masih menungguku? Dimana, Ver? Kuharap kita akan bertemu di tempat yang lebih
baik suatu saat nanti... :)
Tunggu aku!
Painfully regards,
Sahabatmu (dari alam yang berbeda),
Dara Agusti Maulidya
Just tears, i can give to both of you... :'(
BalasHapus:')
Hapus