Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh :)
Ada yang merasa familiar dengan kalimat yang saya gunakan sebagai
judul dalam postingan ini? Yak, tepat sekali. Kalimat tersebut adalah sebuah
pernyataan yang diucapkan oleh Cinta kepada Rangga di dalam trailer film Ada
Apa dengan Cinta part 2. Kalimat ini dilontarkan Cinta atas sikap Rangga yang
dianggapnya telah berbuat jahat karena meninggalkan – atau lebih tepatnya
menggantungkan Cinta selama 14 tahun.
![]() |
Image source |
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah Rangga memang sejahat itu? Bagaimana jika terjadi anomali?
Bagaimana bila sebenarnya, ada seseorang yang lebih jahat daripada
Rangga? Seorang perempuan yang membuat sengsara dirinya sendiri. Seorang
perempuan yang menutup pintu hatinya selama 14 tahun demi seorang lelaki yang
dia sendiri tak pernah mengetahui bagaimana kabarnya. Padahal, jika mau,
perempuan itu bisa saja dengan mudah mendapatkan lelaki lain. Lelaki yang
mungkin saja lebih baik daripada lelaki yang ditunggunya itu.
Bagaimana bila anomali itu benar adanya? Bahwa ternyata, Cinta lah
yang lebih jahat terhadap dirinya sendiri? Kemudian karena berbagai tekanan, keadaan,
dan dominasi emosi seorang wanita, dia menyalahkan Rangga atas apapun yang
telah dirasakannya selama 14 tahun ini? Mengatakan bahwa Rangga lah yang selama
ini telah menjahati dirinya? Bagaimana?
Baiklah. Mari berpikir bahwa anomali ini tidak benar adanya. Mari kita
berpikir sama seperti semula. Bahwa Cinta tidak salah. Bahwa cinta memang
benar. Bahwa Rangga lah yang memang jahat. Mari berpikir seperti itu saja.
Kita semua sepakat bahwa Cinta dan Rangga saling mencintai. Ini
artinya, Rangga juga mencintai Cinta, bukan? Lalu, mengapa Rangga tega
meninggalkan Cinta tanpa kabar selama itu? Apakah satu purnama di New York
memang selama 14 tahun? Ataukah ada alasan lain yang membuat Rangga
menggantungkan Cinta hingga selama itu?
Sepertinya memang ada alasan khusus yang membuat Rangga pergi meninggalkan
Cinta. Dan apabila ditelaah berdasarkan tren anak muda masa kini, satu hal yang
dapat saya simpulkan adalah: Rangga
masih belum siap. Jika Rangga memang seorang lelaki normal dan benar
mencintai Cinta, maka ini adalah satu-satunya alasan logis yang masih dapat
saya pikirkan.
Bukankah sekarang, ada banyak laki-laki yang enggan menyeriuskan
hubungan dengan perempuan yang “dicintainya” karena alasan tersebut?
Meng-kambing-hitam-kan kesiapan. Padahal, kesiapan itu sendiri tak dapat
diukur. Sehingga, banyak orang yang menyalah artikan bahwa kesiapan adalah
semata-mata perkara materi, perkara kemapanan. Bahwa untuk meminang anak orang,
seorang lelaki harus siap dengan besar pendapatan sejumlah sekian rupiah per
bulan, ataupun dengan menunjukkan segala harta benda yang dianggap dapat
menjamin kelangsungan hidup perempuan yang akan diseriusinya tersebut.
Padahal, ada hal yang lebih penting untuk disiapkan daripada sekedar
materi dan kemapanan. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah modal kemapanan itu
sendiri. Kenapa mapan perlu modal? Karena ia adalah capaian. Dan untuk sampai,
kita memerlukan kendaraan. Sebuah kendaraan yang apabila diasumsikan bahwa itu
adalah modal, maka ia adalah karakter.
Modal kemapanan itu sendiri adalah karakter-karakter baik yang jika
kita hidup dengan menjunjungnya, maka kemapanan adalah buah ranum dari
karakter-karakter tersebut. Karakter baik yang kita pupuk begitu lama, yang
kita sirami setiap hari. Dan kita, tumbuh mendewasa bersamanya.
Sebagai seorang perempuan yang didominasi oleh “thinking” daripada “feeling”,
menurut saya, adalah cukup bagi seorang laki-laki untuk memulai hubungan yang
serius apabila dia telah memiliki “modal kemapanan” tersebut, terlepas dari
sudah mapan ataukah belum mapan dirinya. Iya, lelaki yang sudah mapan secara
finansial tentu tampak baik, dan wanita seringkali memandang hal ini sebagai
salah satu bukti kesiapan.
Tetapi terkadang, yang terpenting bagi seorang wanita bukanlah tentang
ber(apa) banyak yang kamu hasilkan, melainkan bagaimana kamu bisa mengusahakan
untuk bisa tetap berpenghasilan. Tidak peduli tentang apa pangkat dan
kedudukanmu, yang terpenting adalah bahwa kamu akan tetap berjuang mencari
nafkah halal di setiap harinya. Bukan tentang seberapa mewah rumah yang kelak
akan kamu bangun, tapi tentang seberapa luas hatimu untuk ditinggali olehnya,
menampung segala suka dukanya.
Kamu tahu? Kamu tidak seharusnya dipilih lantaran kekayaan yang kamu
miliki, namun karena ketaqwaan dan keimanan yang kamu punya. Sesuatu yang jauh
lebih abadi daripada sekedar materi. Sesuatu yang akan membuatmu berusaha keras
dan sadar akan kewajibanmu. Hingga kelak, saat rumah tangga itu kamu bangun, kamu
tidak hanya pandai “membuat anak” saja, tapi juga ikut serta dan pandai dalam mendidik
anak. Bukankah sudah seharusnya begitu?
Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Mas Gun, bahwa karakter yang baik
akan memberikan kesadaran bahwa mencintai itu bukan hanya soal waktu, namun
soal keimanan dan ketaqwaan. Bahwa mencintaimu tidak dan jangan sampai
mengkhianati Tuhan. Apalagi menentang segala aturan-Nya. Cinta yang baik akan
lahir dari karakter seseorang yang baik.
***
Segala hal yang terlalu ribet ini niscaya akan terpikirkan saat kita
beranjak dewasa. Dan ini bisa saja menjadi penyebab atas ketidak-inginan
seseorang untuk menjadi dewasa.
Membicarakan tentang beranjak dewasa, saya jadi ingat dengan seorang
anak luar biasa yang saya temui beberapa minggu lalu. Seorang anak yang pintar,
dan saat ditanyai ingin menjadi apa ketika dewasa kelak, jawabannya sungguh
membuat terkejut. Tidak seperti teman-teman lainnya yang ingin menjadi guru,
polisi, dokter, atlet, dan berbagai profesi lainnya. Dia sungguh berbeda. Ingin
jadi apa dia ketika dewasa? Dan kemudian dia menjawab, bahwa dia tak pernah
ingin tumbuh besar. Dia tak pernah ingin menjadi dewasa. Dia, memecah paradigma.
Ternyata, peter pan syndrome
(keinginan untuk tetap menjadi anak-anak) bukan hanya dapat dijumpai dalam
dongeng ataupun film, tetapi juga dalam dunia nyata. Dan keinginan itu, sungguh
bertumbuh di sekitar kita. Namanya Bagus, seorang anak luar biasa yang kemudian
membuat saya kembali terpekur amat dalam. Apakah saya memang sudah siap untuk
mendewasa? Apakah sebenarnya, di dalam diri saya ini, juga terdapat sebuah
keinginan agar waktu berhenti sampai saat ini saja? Agar saya tidak harus terus
terhantam arus yang memaksa dewasa. Agar saya tetap bisa tersenyum ceria atas
setiap masalah yang datang, sebagaimana saya bisa selalu tertawa kapanpun saya
mau saat saya kecil dahulu? Apakah saya juga memiliki sindrom itu? Apakah
sebenarnya, keinginan saya juga sama dengan keinginan Bagus?
Gus, jika kakak memang bisa menghentikan waktu ini untukmu, agar kamu
bisa tetap seperti ini saja dan tidak harus tumbuh mendewasa, maka akan kakak
upayakan untukmu, Gus. Tapi sungguh, seberapapun kakak berusaha, kakak tak akan
pernah bisa melakukannya. Mau tak mau, kakak harus memperkenalkan dunia ini
padamu, Gus. Dunia yang mungkin saja akan berlaku keras kepadamu, kepada kakak
juga, bahkan kepada kita semua. Tapi, Gus, sepertinya kakak punya sebuah ide,
deh. Bagaimana jika kita tumbuh mendewasa bersama saja, hingga kelak, akan kita
hadapi dunia ini bersama pula? Hingga kita bisa hapuskan rasa takut itu? Rasa
takut untuk mendewasa yang kadang mengungkung hari-hari baik yang berhak kita
miliki.
Khatulistiwa, (masih) pertengahan Maret 2016.
Beberapa saat setelah sadar bahwa film AADC 2 akan tayang di
bioskop pada tanggal 28 April 2016. Dan setelah melihat kalender akademik, itu
adalah minggu-minggu ujian bagi kami seangkatan. Kemungkinan besar saya gak
bisa nonton, nih. Wassalam :’)
Aaaah. Peterpan Syndrom ya. Kadang saya juga berpikir untuk jadi anak-anak terus. Enak. Tapi kita gak hidup di Neverland. Orang-orang Belanda juga hidup di Neverland tapi tumbuh dewasa juga tuh. Eh itu Netherland.
BalasHapusItu Netherland, bang...
Hapus"Kamu tahu? Kamu tidak seharusnya dipilih lantaran kekayaan yang kamu miliki, namun karena ketaqwaan dan keimanan yang kamu punya."
BalasHapusDara punya taqwa atau imanmeter? Pinjem dongs..
Aku gak punya, bang. Lagi nyari juga ini... Ada jual dimana yak? Hehe.
HapusYang kupahami, bang. Kita sebagai manusia memang gak bisa ngukur keimanan orang lain. Tapi, keimanan itu sendiri akan bermanifestasi kepada akhlak.
Lalu, bagaimana menilai akhlak seseorang? Pertanyaan ini tentu akan memiliki jawaban yang berbeda. Gak ada rumus khusus untuk ngukur akhlak seseorang, kan? Karena itu sesuatu yang alami dan berjalan di bawah kesadaran...
Gunakan mata hati kita untuk melihat :)
Ini dari trailernya yah? Keren. Dari trailer bisa jadi tulisan sepanjang ini.
BalasHapusPeter pan syndrome. Hmmmm..
Saat kecil, gue selalu pengen dewasa. Gak ngerjain pr lagi, keluar rumah gak perlu di cariin lagi, gak perlu di cariin tiap hari kalo pulang malam sama ortu. Jadi anak kecil itu gak bebas. Tapi saat gue dewasa, gue malah pengen jadi anak kecil. Dewasa itu ribet. Boro boro keluar malam, untuk makan 3 kali sehari aja kadang gue harus mikir.
Iya, bang. Trailernya heboh sih soalnya~
HapusNah, sama bange bang.
Waktu kecil, aku pengen cepet-cepet dewasa. Tapi pas udah beranjak dewasa gini, malah pengen balik lagi jadi anak kecil.
Emang manusia gak pernah bisa puas, ya :')
Jadi, ternyata "Peter pen itu syndrom? Gimana kabarnya Ariel, ya? Hahaha.
BalasHapusSejujurnya, emang banyak banget sekarang laki-laki (Keknya gue juga) Yang mengkambing-hitamkan-kesiapan. Tapi, bukan soal uang segalanya, buat gue, sih. Menikah itu lebih dari yg terbayangkan. Kalo materi sedikitpun gk ada, gak mungkin gue lempeng aja tetep mengikat dia dalam sebuah pernikahan. Jadi, peraiapan buat gue perlu. Bukan soal hati atau mental (Itu udah siap lama) Soal materi yg rasanya masih blm pantas inilah, mengapa sebgian orang memilih untuk blm siap.
Peter pan emang sindrom, tapi kan Noah bukan, pangeran :p
HapusIya... Materi emang seperti jadi hal yang harus kudu banget dipersiapkan. Bagus kok bang, mempersiapkan segalanya.
Tapi ya yang jangan dilupakan, bahwa bukan sekedar materi yang diperlukan untuk membangun rumah tangga. Ada banyak hal lainnya, hehe.
Cmiiw :)
Aku juga mau nanya kayak Renggo, sih. Gimana caranya ngukur keimanan orang? ketkwaannya juga. Terlebih bagaimana memberikan keyakinan kepada orangtua calon bahwa kita bertakwa? orangtua sekarang itu mau anaknya bahagia, dan menurut kebanyakan, bahagia adalah anaknya nggak abakal kelaparan dan kebutuhan kesehariannya bakal tercukupi. lebih diutamakan lagi kalo bisa beli barang mewah. *kusedih*
BalasHapusAku nggak tau itu salah rangga apa salah cinta, yang jelas, kalo keduanya entar mesti membuktikan siapa yang benar, yang kalah hukumannya ngapain?
Pertanyaan bang Renggo udah dijawab tuh bang di atas :p
HapusBagaimana memberikan keyakinan kepada orang tua calon bahwa kita bertakwa? Apalagi kalau ukuran bahagia itu dinilai dari ukuran materi?
Pertama, bang. Kalau aku jadi kamu. Aku gak akan berani menjanjikan kekayaan, karena harta itu milik Allah. Aku juga gak mau menjanjikan surga, sebab surga itu milik Allah. Ketentraman? Kebutuhan yang tercukupi? Kebahagiaan? Itu juga punya Allah. Apakah kita bisa berani menjanjikan apa-apa yang sebenarnya bukan milik kita? :')
Mungkin aku cuma bisa meyakinkan bahwa anaknya akan bersama orang yang tepat. Seseorang yang akan menjanjikan untuk mengajak berjuang bersama dan tidak lelah menemani, serta mengingatkan di saat lalai. Meski akhirnya kita sama-sama menyadari, bahwa segala upaya itu bisa terjadi apabila Allah berkehendak.
Maka, aku akan jelaskan bahwa aku gak bisa menjanjikan dunia yang diinginkan begitu banyak orang itu. Aku begini saja. Terserah bagaimana si orang tua calon melihatnya. Wkwkwkwk.
Tadi siang sih kesepakatan di multi chat, yang kalah bakalan ditimpuk pake kamus Dorland. Dan kata Icha, yang kalah itu Yoga. Bukan Rangga. Bukan Cinta.
Cadas,,,,,
HapusSejuk dar sejuk
#aku belajar banyak dari yg lebih junior nih
Dara. Lagi-lagi postingan kamu dalam sekali. Judulnya mengecoh, kirain full mau balas kejahatan Rangga.
BalasHapusKamu ada pernah bilang di postingan soal makanan, kalau aku mau konsul soal makanan, aku bisa konsul via chat apa Line gitu. Aku boleh minta id Line kamu nggak, Dar? Aku mau balas komen ini di id Line aja. Itupun kalau boleh. Hehe.
Oh iya, yang Peter Pan Syndrome, penyebabnya karena apa, Dar? Kalau nggak salah aku pernah baca. Salah satu penyebabnya karena terlalu dikekang orangtua. Bener nggak sih, Dar?
Aku gak bermaksud mengecoh pakai judul ini, kok, Cha...
HapusOalah... Jadi yang di line itu... Kelanjutan ini? Hehehe.
Banyak banget penyebabnya, Cha. Bisa juga yang faktor pola asuh itu :)
banyak laki2 yang kayak begitu. kayaknya syndrome rangga itu emang true story banget dan sangat relevan di kehidupan sekarang. tapi, banyak juga kok cewek yang kayak gitu. ah, apapun itu... menggantungkan harapan seseorang itu nggak keren. tiba-tiba pergi, tiba-tiba datang lagi. huhh
BalasHapusUdah pernah ada survey ya, Jev? Lebih banyak pelakunya laki-laki daripada perempuan?
HapusAda sindrom Rangga juga? Ya ampun ckck...
Iya, menggantungkan harapan seseorang itu emang gak ada keren-kerennya.
Etapi Rangga tetep keren deh :p
Aku juga takut dewasa mbak. :'(
BalasHapusAku selalu takut setiap kali ulangtahun. takut makin banyak yang dipikirin, takut makin deket sama mati padahal bekal belom siap. :'(
Kalo disini ditanya yang salah Rangga apa Cinta? ya Rangga lah. Cinta kan cewek, Dian sastro lagi. Gabisa salah dia udah mutlak.
Kalau semisal di dunia nyata ada lelaki seperti sosok ranggal dalam fil AADC 2 pemeran cinta mungkin di dunia nyata sudah mencari cinta yang baru membuka hati untuk orang lain bukan malah menunggu 14 tahun lamanya. Kadang cinta itu menyakitkan yah, duh kenapa ini jadi baper hahaha
BalasHapusEntah kenapa aku selalu terbawa arus setiap kali tulisan kamu, mba Dara :')
BalasHapusHebat. Bikin aku jadi berpikir berulang kali.
Iya bener, aku ngeliat banyak wanita skrg yang ngeliat bentuk kesiapan dr finansial yang baik.
Enggak jauh-jauh deh, Ibuku saja begitu. Duh ini aib nggak sih, mba Dar :') Aku selalu nggak sependapat dgn beliau. Laki laki yang finansialnya baik, mah banyak. Tapi aku sama sekali nggak pernah ngelihat itu untuk mengukur salah satu bentuk kesiapan bagi seorang lelaki. Aku setuju dgn yg kamu tulis. Karakter yg baik, keimanan dan ketaqwaan.
Aaaaaaa itu yg dialami Bagus memang sering banget dirasain semua orang. Nggak pengen jd orang dewasa. huhuu
Ini komen aku kenapa curhat gini yak :'D hahahaa maapkeun, mba Dar.
Setiap kali baca tulisan kamu.
HapusHehee. Kekurangan kata.
Kalau ngomongin rangga sama cinta gini malah jadi inget iklan a*ua yang baru XD
BalasHapusWah kalau ngomongin mapan nggaknya nanti dulu aja deh, pingin bahas masalah dewasa. Setiap tambah umur gitu pasti tambah juga tuntutannya, misal umur 20 harus sudah selesai kuliah, umur 25 sukses kerja, 28 menikah. Kalau merencanakannya sih mudah, tapi kalau dipikir-pikir rasanya susah gitu ya. Jadi semacam beban gitu. Tapi ya gak enak sih jadi anak-anak mulu, repot kalau anak-anak pingin cepat besar, kalau sudah besar pingin kembali ke masa kecil.
Itu kan bisa nonton filmnya habis ujian kak
Wah hampir sama dengan saya nih pengalamannya tapi kalau saya belum sampai 14 tahun baru 3 tahunan dan sampai saat ini juga saya masih menunggu kepastiannya rasanya itu kalau menunggu yang lain pasti membosankan tapi kalau menunggu ini rasanya tidak akan pernah bosa.
BalasHapusmengenal cinta emang gak ada habisnya
BalasHapusBeda sama Bagus, masih kecil dulu saya berasa pengen cepet jadi orang dewasa, kayaknya jadi orang dewasa itu seru dalam melakukan segala hal, tadinya. Ternyata engga, ra..ngga. Malah sekarang pengen balik lagi ke masa kecil, dimana hal yang paling musingin cuma ngerjain PR matematika.
BalasHapusKok aku jadi mikir out of the box kek kamu ya dar
BalasHapusJangan jangan memang cinta yang lebih jahat dari rangga, membuarkan batinnya tersiksa menunggu kepastian sementara di luaran sama masih banyak laki2 yg nunggu wokwokkk
#komporr ni dara kompor,
Hahaiii, keknya klo dimasukin jenre flashfiction bisa ni dar idenya
Aaaaakk ga bisa nonton madi ada dividi kaaaan yah, kira2 bakal rilis di pasaran ga ya, wecara dvd film indo lebih terbatas ketimbang film luar
AADC ak plesetin jd "ada apa dara cayang" maksa
BalasHapusokeh.. ko ak malah jd tersentuh gini bacanya. Mungkin karena ak salah satu cwo yg nengkambing hitamkan blm siap.Tp gara gara baca ini jd ada sedikit ternotifasi, mungkin dara cocok jadi mitifator hidupku #eaaak maaf malah ngegombal. Wkwk
AADC ak plesetin jd "ada apa dara cayang" maksa
BalasHapusokeh.. ko ak malah jd tersentuh gini bacanya. Mungkin karena ak salah satu cwo yg nengkambing hitamkan blm siap.Tp gara gara baca ini jd ada sedikit ternotifasi, mungkin dara cocok jadi mitifator hidupku #eaaak maaf malah ngegombal. Wkwk
Hahaha. Jahat-jahat juga nanti sayang lagi. Dasar Cinta. Halah.
BalasHapusKok anak yang bernama Bagus itu bagus banget pemikirannya, ya? Asli nih bagus.
Sebenernya emang ada beberapa hal yang orang dewasa lupain ketika umur semakin bertambah tua. Kadang lupa bermain, kadang malah lupa caranya memaafkan.
Gue inget zaman kecil, hari ini berantem, besok juga main lagi. Sayangnya, sekarang nggak bisa begitu. :(
Dan yang paling sering, takut untuk mencoba sesuatu hal yang baru. Selalu dipikirin dulu. Kelamaan mikir jadinya. Action-nya nggak (buat ngingetin diri sendiri juga). :))
Aku liar trailer AADC 2 malah yang dari iklannya Aqua -_- kepret abis wkwk
BalasHapus"Bagaimana bila sebenarnya, ada seseorang yang lebih jahat daripada Rangga?"
BalasHapusAda. Sahabat yang nusuk dari belakang itu lebih jahat daripada Rangga atau pembunuh berantai paling sadis di dunia.
*eh.. curhat.
Jadi makin penasaran dengan AADC 2 ini, jadi pengen buru-buru nonton
BalasHapuslebih baik nonton AADC2 dari pada ujian, itu lebih penting demi masa depan cintamu :'D
BalasHapusuntung aku bukan rangga sehingga aku ngga jahat. semoga aku bisa belajar dari rangga :)
BalasHapustentang jkemapanan dan modal kemapanan aku sepertinya masih jauh.... peterpan sindrom atau apalah itu, huh ini sepertinya sayng sulit membuat mapan, aku infin terrus menjaddi seperti anak kecil huah
BalasHapus