Aku mendapatkan tatapan sinis darinya. Padahal ini adalah kali pertama
kami bertemu, walaupun namanya memang sudah santer terdengar di sekolahan.
Andira Pramesti Lestari, siswi langganan juara kelas dan juara olimpiade
Fisika.
“Kalau kayak gini caranya, gak yakin menang deh…” Dia mendengus kesal.
Padahal perkaranya sepele sekali. Karena aku berkata bahwa batu dengan
massa 1 kg lebih berat daripada kapas dengan massa 1 kg pula.
Itu adalah pendapatku mengenai salah satu soal yang harus kami
kerjakan. Ini adalah perlombaan adu otak yang rutin dilaksanakan di sekolah
kami, dan entah kenapa aku bisa dipasangkan berkelompok dengan wanita berdarah
dingin ini. Peserta adu otak ini adalah para juara kelas, yang kemudian akan
dipasangkan secara acak untuk menjadi sebuah tim dengan anggota 2 orang.
“Ya udah, deh, terserahmu aja mau jawab apa…” Aku menyerah saja pada
si juara olimpiade fisika ini.
“Kalau gitu, kesiniin kertas soal sama pulpennya.” Dia mengambil
barang tersebut dari tanganku. Sejak saat itu aku lebih banyak memilih diam dan
memasang wajah serius padanya.
“Hm… Jarak terdekat dari Kutub Utara ke Kutub Selatan adalah melewati…
Hm…” Dia mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke dahinya.
“Bumi kan bulat. Jari-jarinya sama panjang. Kalau gitu ya sama aja mau
lewat mana aja. Toh jaraknya bakalan sama.” Aku menimpali.
Dengan segera, tatapan sinis itu menghujam mataku kembali.
“Nah ini nih yang aku sering gagal paham sama anak IPS. Gak bisa
ngelupain sejarah apa gimana, sih? Columbus emang bilang bumi itu bulat pas
pelayaran. Teorinya Copernicus sama Galileo juga emang bilang kalau bumi itu
bulat. Tapi plis, jangan lupain fakta bahwa panjang dan tinggi bumi itu gak
sama. Bulat sih bulat, tapi bukan kayak bola. Bumi itu elips.”
Aku memilih terdiam lagi. Dibantai habis-habisan seperti itu. Apa yang
harus kubalas?
“Hm… Kalau elips, harusnya ada dua cara dengan jarak paling pendek…”
Dira mulai berhipotesis.
“Cuma ada satu cara. Yang ditanyain jarak terdekat, kan?” Aku mencoba
buka suara kembali.
“Iya, jaraknya.” Ujung pulpen masih diketuk-ketukkan ke dahinya.
“Kalau gitu ya tarik garis lurus aja melewati pusat bumi. Percaya atau
enggak, itu jarak terpendek yang bisa diambil.” Aku memaparkan hipotesisku.
“Gak realistis, woy! Kalau mau ngegali itu kedalaman bumi, mau berapa
lama?”
“Ra, pertanyaannya simpel tentang jarak. Bukan kecepatan. Tentang
seberapa dekat, bukan seberapa cepat…”
***
Entah mengapa, dengan awal perjumpaan yang penuh kontroversi itu, aku
bisa menjadi dekat dengan perempuan dingin yang rupanya hangat itu. Lamunanku tentang
pertemuan pertama dengan Dira 8 tahun lalu, buyar seketika. Ada langkah-langkah
kaki yang berjalan memasuki kamarku. Seorang wanita yang aku sayangi.
“Rey, gimana bisnismu sekarang?”
“Alhamdulillah lancar, Ma. Tumben nih nanyain…”
“Habisnya, udah hampir dua bulan kamu gak pulang ke rumah. Ngurusin outlet baru sampai segitunya, ya?”
“Hehe. Mumpung masih belum ada yang marah kalau Rey gak pulang ke
rumah selain mama. Kalau Rey udah nikah, kan gak mungkin gak pulang sampai dua
bulan, Ma.”
“Dasar, anak Mama yang satu ini… Oh iya, mengenai permintaanmu dua
bulan lalu… Tentang Dira…”
“Eh iya, gimana, Ma?”
“Ditolak loh kamu… Heran deh, anak mama ini apanya yang kurang, coba?
Sampai ditolakin gitu…”
Aku memang meminta Mama untuk menanyakan kesediaan Dira menjadi
pendampingku nanti. Seorang perempuan yang telah lama membuatku jatuh, padahal
aku tak pernah berpikir untuk memupuk harapan kepada seorang gadis hingga
selama ini. Lebih dari delapan tahun.
Aku tahu bahwa Dira sebenarnya menyukaiku. Entahlah. Mungkin aku yang
kegeeran. Tapi aku harus memastikan kembali tentang penolakannya. Apakah dia
punya alasan yang kuat untuk menolak lelaki yang disukainya sejak lama ini?
Kuputuskan untuk membuat sebuah panggilan ke telepon genggamnya. Suara
yang membuatku rindu itu lantas memberi salam. Sedikit banyak kami berbincang
tentang pekerjaan, dan dia menanyakan perkembangan bisnisku. Setelah melalui topik
basa-basi untuk mengawali pembicaraan, aku pun mulai menggali kebenaran darinya.
“Ra, jujur deh… Kamu sebenernya punya perasaan sama aku, kan?”
“Ye… Dasar ke-geer-an. Gak mungkin lah.” Dira membalas dengan intonasi
seperti orang yang sedang terkejut.
“Ra, bohong itu dosa loh…”
Kudengar eluhan napas yang berat dari seberang telepon.
“Sembarangan nuduh, ih. Tuduhan tanpa bukti itu jauh lebih dosa.”
Defensif. Tapi aku yakin bahwa argumennya kali ini bisa kupatahkan dengan
mudah.
“Kamu ingat waktu kita ada proyek sosial di Sumbawa dulu?”
“Of course, lah. Pengalaman
berharga gitu mana mungkin dilupain, Rey...”
Saat itu, kami baru saja menyandang status sarjana kami. Sebagai
seorang sarjana kedokteran, Dira tentu saja mengambil alih posisi sebagai
relawan medis kala itu. Sedangkan aku kebagian tugas untuk meliput proyek
tersebut.
“Berarti kamu juga inget sama bapak-bapak yang tiba-tiba sesak napas
itu, kan?”
“Yap.”
Baru saja kami menginjakkan kaki di lokasi proyek tersebut, seorang
Ibu menghampiri kami dan mengajak kami untuk berlari menuju tempat di mana
seorang lelaki paruh baya dengan badan gempal tampak kesulitan mengambil napas.
Kelihatannya saluran pernapasannya menyempit atau entah bagaimana, aku juga tak
begitu paham.
“Waktu itu kamu nyuruh aku ngambil stetoskop di dalem tas kamu. Dan
saat itu, aku gak sengaja ngeliat isi dompet kamu. Ternyata kamu masih nyimpen
foto kita berdua. Foto pas masih SMA. Di foto itu, ada tulisan yang lumayan
gede. Dira love Rey. Iya, kan? Kamu udah punya perasaan ke aku sejak SMA, kan?”
Berat. Kudengar sesuatu yang ditahan dari seseorang di seberang sana.
“Tapi itu cuma perasaan, Rey. Aku memang punya perasaan sama kamu,
tapi aku gak pernah membangun harapan ke kamu… Aku udah cukup tahu bahwa kamu
sering jalan sama banyak perempuan, dan hampir tiap bulan ganti gandengan…”
Lirih. Suara di seberang itu kudengar bergetar kali ini.
“Ra, kamu kan tahu kalau aku ini tipe manusia yang gak bisa nolak
kalau ada orang yang mintain tolong… Aku bukannya ganti gandengan setiap bulan,
Ra. Mereka semua temen-temenku yang minta bantu. Kadang belanja, kadang ke toko
buku, kadang makan. Aku sama mereka gak ada apa-apa, Ra…”
“Hm…”
“Ra, jika kamu berkenan, aku ingin memintamu baik-baik, kepada kedua
orang tuamu…”
***
Tiga bulan sejak percakapan pengakuan itu telah berlalu. Kini, di
hadapanku, Dira telah duduk dengan senyum manisnya. Wajahnya semakin cantik
dengan riasan make up yang hanya akan
digunakannya untuk acara-acara paling berharga dalam hidupnya. Tubuh mungilnya
dibalut gaun pengantin nuansa biru langit dan merah muda. Dia kemudian tersenyum
dan mengangguk padaku.
Aku pun sudah siap di posisiku, dengan setelan jas terbaik yang
kumiliki, aku memetik gitar dan mulai menyanyikan sebuah lagu dari Nat King
Cole.
“L, is for the way you look at me…”
Masih jelas di ingatanku tentang
bagaimana tatapan pertama yang ditujukan Dira kepadaku. Sinis, manis, dan
bernuansa magis. Saat perlombaan adu otak di SMA itu, aku jatuh pada matanya. Di
matanya itu, ada sebuah jurang tak berdasar. Sesuatu yang tak pernah kuketahui
kedalamannya, hingga membuatku jatuh begitu dalam tetapi dapat bangkit kembali.
“O, is for the only one I see…”
Kini, tatapan manis nan magis
itu masih bisa kulihat dengan jelas. Tapi tak lagi sinis. Aku tak tahu entah
sejak kapan, tatapan sinisnya itu berubah menjadi tatapan paling romantis yang
pernah singgah di mataku.
“V, is very very extraordinary, and…”
Hari ini, genap 9 tahun
pertemuan kami. Dan Dira, adalah keping puzzle yang aku rasa dapat melengkapi
kisah-kisah hidupku. Bersamanya selama ini, membuatku sadar tentang hidup yang
sesungguhnya.
“E, is even more than anyone that you adore and love…”
Aku kembali teringat akan
percakapan terakhir yang kami lakukan.
“Ra, jika kamu berkenan, aku
ingin memintamu baik-baik, kepada kedua orang tuamu…”
“Maaf, Rey. Tapi semuanya sudah
terlambat.”
“Maksudmu?”
“Besok aku lamaran…”
Kini, seseorang yang kuanggap sebagai keping puzzle pelengkap hidup itu sedang merayakan hari bahagianya.
Termasuk hari bahagiaku juga, karena melihat orang yang pernah kusayangi sedang
berbahagia. Hari ini Dira menikah. Dan aku di hadapan kedua mempelai,
menyanyikan sebuah lagu untuk mereka.
Aku kembali mengingat pertanyaan
terakhir yang diajukannya padaku di hari itu.
“Rey, kamu mau, kan, nyanyi di
acara nikahanku nanti?”
“Siap, bos!”
Sejak saat itu aku menyadari, bahwa berjalan di antara pematang-pematang
takdir ini adalah jalan yang terbaik. Bahwa Tuhan telah menggariskan jalan
hidup kepada masing-masing makhluk. Dan tunduk kepada setiap bentuk skenarionya
adalah merupakan pijakan yang tepat.
Ra, jika aku boleh bertanya satu
hal kepadamu. Maka pertanyaanku sederhana saja. Aku yang terlambat datang,
ataukah kau yang berlari begitu cepat?
Jarakku mungkin dekat denganmu. Tapi katamu, menembus inti bumi bukanlah
hal yang realistis untuk dilakukan.
“Gak realistis, woy! Kalau mau
ngegali itu kedalaman bumi, mau berapa lama?”
“Ra, pertanyaannya simpel
tentang jarak. Bukan kecepatan. Tentang seberapa dekat, bukan seberapa cepat…”
***
Khatulistiwa, Mei 2016.
Maafin ya kalau fiksinya berantakan banget. Ini otak sama tangan
terlalu banyak dicekokin kasus nyata daripada fiksi, sih. Sekalinya pengen refreshing nulis fiksi, malah kayak
begini, huhuhu.
Oh iya, cerita versi Dira bisa dibaca di sini.
Bagus banget ceritanya. Yang bagian pengandaian soal jarak terdekat bumi itu bikin baper. Sial! Ah. Suka deh pokoknya.
BalasHapussetuju sama komentarnya si haris... Bagian analogi soal jarak terdekat bumi itu bikin baper massal uwuwuwuwu :')
BalasHapusJadi bingung mbak.
BalasHapusItu maksudnya kok si dira bisa tahu kalau rey itu... baiknya nggak cuma sama dia?
Rey ikhlas banget ya mbak nyanyi di walimahnya dira :)
baca cerita sangat serius dan penuh penghayatan sampai-sampai jadi baper kaya gini :D
BalasHapusDuuuuh Rey bawain lagunya Nat King Cole lagi. Aaaaaak. Sampe kebayang gini gimana kalau ada Rey beneran di dunia nyata. Tegar nyanyi di nikahan orang yang dia suka :'D
BalasHapusPendapat soal fiksinya udah di Line ya, Dar. Cuma ada yang lupa kubilang. Namanya ternyata mirip sama nama kamu. Dira. Dara. Yuhuuuu~
Aku kok............ kebawa perasaan gini ya,
BalasHapusngebayangin ada lelaki yang nelepon, aku tahu aku pernah suka... sampai nyimpen fotonya didompet.. tapi.... besok aku lamaran...
ALAMAK,,, APA INIIIIII!!!!
GILAAAA TERLENAAAAAAAA....
ngebayangin ada lelaki tegar yang pernah kita syayang, nyanyi Nat King Cole pas nikahan....
auuuuhhhhhhhhhhh.......
Suka sama semua kalimatmuuuu, Diraaaa eh Daraaaaa!!!!!!
salam kenal!
Lagu LOVE, sering banget dinyanyiin sama penyanyi-penyanyi kafe nih. Haha.
BalasHapusAwalnya bingung tentang lomba Fisika itu, eh pas di ending ternyata....
Bagus! :)
kirain gue true story, ra. Goodlah nih story bikin baper, ngenang2 masa lalu gitu :'D
BalasHapusYa Allah, nggak ketebak banget endingnya. Kereeeen Dar. Percakapan sewaktu telfonannya bikin aku baper parah.
BalasHapusFiksinya mantap! :))
ceritanya asik, dibawa kefisika-fisikaan juga ni mentang si cewek pinter fisika yak. seberapa dekat, bukan seberapa cepat --> pertanyaan yang cocok buat orang2 PDKT
BalasHapusHallo Dara... Ih... kek gini disebut berantakan sama dirimu?? Apa kabar tulisan gue yang masih awuk-awukan itu? -_-
BalasHapusKetika percakapan pertama di telepon, gue udah ngerasa ada teks yg hilang. Sempet curiga, sih. Pasti ada yg terjadi di luar dugaan. Bener banget dugaan gue. Di Rey bener2 ditolak. Ya, karena penggalaman telepon itu rasanya kok ada yg hilang. Entah, karena guenya yg telalu baper. Yang jelas, analogi Fisikanya keren banget..
Fiksinya keren Dara...
Suka sama pembukaannya. AKu jadi merasa bodoh. Aaaaakk. \:D/
BalasHapusAAaaaaaaakkkkk.... Bagus Dar, fiksinya.... jadi kepingin buat fiksi lagi. xD
BalasHapusBukan berantakan sepertinya, Dar, tapi kecepetan. Mungkin karena kamu menilainya berdasarkan kedekatan.
Berantakan itu kalo tiap scenenya berdekatan, padahal mestinya dipanjangin lagi. Tapi akrena nggak, jadinya kecepetan. aaahhhh cepat, dekat... kata itu mulu yang melekat.
Ketika ngebaca yang versi andira, pas paragraf awal, aku memilih nggak ngelanjutin, Dar. mungkin cerotanya nyambung, tapi feel di sananya kurang banget. mau disebut sebagai penjelas kenapa tidak mau menerima lamaran Rey pun juga kurang tepat, karena di bagian Rey ini juga udah jelas.
entahlah, kayaknya ini awalnya emang diniatin bikin satu cerita trus dapet ide dadakan, lima ratusan, jadinya dua versi.
Tapi tetep aja. Keren fiksinya.... :D
Dira..i nya diganti a maka jadi daaaaaa ra
BalasHapuskayak tulisannya dee. bagus
BalasHapusDara, Ini fiksinya bikin baper, knp namanya Dira. Pas tau namanya dira ak langsung baper.wkwk
BalasHapusDara, Ini fiksinya bikin baper, knp namanya Dira. Pas tau namanya dira ak langsung baper.wkwk
BalasHapusAku ngerasa cemen...
BalasHapusKetje..!!
Jadi, apakah rey datang terlambat, atau dira yang terlalu cepat?
hikkkhiiikkkkkk :'( pastinya bikin baperrrr.... udah sepiicless....kenapa?keNAPA???KENAPAAA??????
BalasHapusceritanya bagus
BalasHapus