Selasa, 10 Mei 2016

Teruntuk Wanita Baik. Aku Akan Baik-Baik Saja

Aku mendapatkan tatapan sinis darinya. Padahal ini adalah kali pertama kami bertemu, walaupun namanya memang sudah santer terdengar di sekolahan. Andira Pramesti Lestari, siswi langganan juara kelas dan juara olimpiade Fisika.

“Kalau kayak gini caranya, gak yakin menang deh…” Dia mendengus kesal.

Padahal perkaranya sepele sekali. Karena aku berkata bahwa batu dengan massa 1 kg lebih berat daripada kapas dengan massa 1 kg pula.

Itu adalah pendapatku mengenai salah satu soal yang harus kami kerjakan. Ini adalah perlombaan adu otak yang rutin dilaksanakan di sekolah kami, dan entah kenapa aku bisa dipasangkan berkelompok dengan wanita berdarah dingin ini. Peserta adu otak ini adalah para juara kelas, yang kemudian akan dipasangkan secara acak untuk menjadi sebuah tim dengan anggota 2 orang.


“Ya udah, deh, terserahmu aja mau jawab apa…” Aku menyerah saja pada si juara olimpiade fisika ini.

“Kalau gitu, kesiniin kertas soal sama pulpennya.” Dia mengambil barang tersebut dari tanganku. Sejak saat itu aku lebih banyak memilih diam dan memasang wajah serius padanya.

“Hm… Jarak terdekat dari Kutub Utara ke Kutub Selatan adalah melewati… Hm…” Dia mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke dahinya.

“Bumi kan bulat. Jari-jarinya sama panjang. Kalau gitu ya sama aja mau lewat mana aja. Toh jaraknya bakalan sama.” Aku menimpali.

Dengan segera, tatapan sinis itu menghujam mataku kembali.

“Nah ini nih yang aku sering gagal paham sama anak IPS. Gak bisa ngelupain sejarah apa gimana, sih? Columbus emang bilang bumi itu bulat pas pelayaran. Teorinya Copernicus sama Galileo juga emang bilang kalau bumi itu bulat. Tapi plis, jangan lupain fakta bahwa panjang dan tinggi bumi itu gak sama. Bulat sih bulat, tapi bukan kayak bola. Bumi itu elips.”

Aku memilih terdiam lagi. Dibantai habis-habisan seperti itu. Apa yang harus kubalas?

“Hm… Kalau elips, harusnya ada dua cara dengan jarak paling pendek…” Dira mulai berhipotesis.

“Cuma ada satu cara. Yang ditanyain jarak terdekat, kan?” Aku mencoba buka suara kembali.

“Iya, jaraknya.” Ujung pulpen masih diketuk-ketukkan ke dahinya.

“Kalau gitu ya tarik garis lurus aja melewati pusat bumi. Percaya atau enggak, itu jarak terpendek yang bisa diambil.” Aku memaparkan hipotesisku.

“Gak realistis, woy! Kalau mau ngegali itu kedalaman bumi, mau berapa lama?”

“Ra, pertanyaannya simpel tentang jarak. Bukan kecepatan. Tentang seberapa dekat, bukan seberapa cepat…”
***

Entah mengapa, dengan awal perjumpaan yang penuh kontroversi itu, aku bisa menjadi dekat dengan perempuan dingin yang rupanya hangat itu. Lamunanku tentang pertemuan pertama dengan Dira 8 tahun lalu, buyar seketika. Ada langkah-langkah kaki yang berjalan memasuki kamarku. Seorang wanita yang aku sayangi.

“Rey, gimana bisnismu sekarang?”

“Alhamdulillah lancar, Ma. Tumben nih nanyain…”

“Habisnya, udah hampir dua bulan kamu gak pulang ke rumah. Ngurusin outlet baru sampai segitunya, ya?”

“Hehe. Mumpung masih belum ada yang marah kalau Rey gak pulang ke rumah selain mama. Kalau Rey udah nikah, kan gak mungkin gak pulang sampai dua bulan, Ma.”

“Dasar, anak Mama yang satu ini… Oh iya, mengenai permintaanmu dua bulan lalu… Tentang Dira…”

“Eh iya, gimana, Ma?”

“Ditolak loh kamu… Heran deh, anak mama ini apanya yang kurang, coba? Sampai ditolakin gitu…”

Aku memang meminta Mama untuk menanyakan kesediaan Dira menjadi pendampingku nanti. Seorang perempuan yang telah lama membuatku jatuh, padahal aku tak pernah berpikir untuk memupuk harapan kepada seorang gadis hingga selama ini. Lebih dari delapan tahun.

Aku tahu bahwa Dira sebenarnya menyukaiku. Entahlah. Mungkin aku yang kegeeran. Tapi aku harus memastikan kembali tentang penolakannya. Apakah dia punya alasan yang kuat untuk menolak lelaki yang disukainya sejak lama ini?

Kuputuskan untuk membuat sebuah panggilan ke telepon genggamnya. Suara yang membuatku rindu itu lantas memberi salam. Sedikit banyak kami berbincang tentang pekerjaan, dan dia menanyakan perkembangan bisnisku. Setelah melalui topik basa-basi untuk mengawali pembicaraan, aku pun mulai menggali kebenaran darinya.

“Ra, jujur deh… Kamu sebenernya punya perasaan sama aku, kan?”

“Ye… Dasar ke-geer-an. Gak mungkin lah.” Dira membalas dengan intonasi seperti orang yang sedang terkejut.

“Ra, bohong itu dosa loh…”

Kudengar eluhan napas yang berat dari seberang telepon.

“Sembarangan nuduh, ih. Tuduhan tanpa bukti itu jauh lebih dosa.” Defensif. Tapi aku yakin bahwa argumennya kali ini bisa kupatahkan dengan mudah.

“Kamu ingat waktu kita ada proyek sosial di Sumbawa dulu?”

Of course, lah. Pengalaman berharga gitu mana mungkin dilupain, Rey...”

Saat itu, kami baru saja menyandang status sarjana kami. Sebagai seorang sarjana kedokteran, Dira tentu saja mengambil alih posisi sebagai relawan medis kala itu. Sedangkan aku kebagian tugas untuk meliput proyek tersebut.

“Berarti kamu juga inget sama bapak-bapak yang tiba-tiba sesak napas itu, kan?”

“Yap.”

Baru saja kami menginjakkan kaki di lokasi proyek tersebut, seorang Ibu menghampiri kami dan mengajak kami untuk berlari menuju tempat di mana seorang lelaki paruh baya dengan badan gempal tampak kesulitan mengambil napas. Kelihatannya saluran pernapasannya menyempit atau entah bagaimana, aku juga tak begitu paham.

“Waktu itu kamu nyuruh aku ngambil stetoskop di dalem tas kamu. Dan saat itu, aku gak sengaja ngeliat isi dompet kamu. Ternyata kamu masih nyimpen foto kita berdua. Foto pas masih SMA. Di foto itu, ada tulisan yang lumayan gede. Dira love Rey. Iya, kan? Kamu udah punya perasaan ke aku sejak SMA, kan?”

Berat. Kudengar sesuatu yang ditahan dari seseorang di seberang sana.

“Tapi itu cuma perasaan, Rey. Aku memang punya perasaan sama kamu, tapi aku gak pernah membangun harapan ke kamu… Aku udah cukup tahu bahwa kamu sering jalan sama banyak perempuan, dan hampir tiap bulan ganti gandengan…” Lirih. Suara di seberang itu kudengar bergetar kali ini.

“Ra, kamu kan tahu kalau aku ini tipe manusia yang gak bisa nolak kalau ada orang yang mintain tolong…  Aku bukannya ganti gandengan setiap bulan, Ra. Mereka semua temen-temenku yang minta bantu. Kadang belanja, kadang ke toko buku, kadang makan. Aku sama mereka gak ada apa-apa, Ra…”

“Hm…”

“Ra, jika kamu berkenan, aku ingin memintamu baik-baik, kepada kedua orang tuamu…”

***

Tiga bulan sejak percakapan pengakuan itu telah berlalu. Kini, di hadapanku, Dira telah duduk dengan senyum manisnya. Wajahnya semakin cantik dengan riasan make up yang hanya akan digunakannya untuk acara-acara paling berharga dalam hidupnya. Tubuh mungilnya dibalut gaun pengantin nuansa biru langit dan merah muda. Dia kemudian tersenyum dan mengangguk padaku.

Aku pun sudah siap di posisiku, dengan setelan jas terbaik yang kumiliki, aku memetik gitar dan mulai menyanyikan sebuah lagu dari Nat King Cole.

“L, is for the way you look at me…”

Masih jelas di ingatanku tentang bagaimana tatapan pertama yang ditujukan Dira kepadaku. Sinis, manis, dan bernuansa magis. Saat perlombaan adu otak di SMA itu, aku jatuh pada matanya. Di matanya itu, ada sebuah jurang tak berdasar. Sesuatu yang tak pernah kuketahui kedalamannya, hingga membuatku jatuh begitu dalam tetapi dapat bangkit kembali.

“O, is for the only one I see…”

Kini, tatapan manis nan magis itu masih bisa kulihat dengan jelas. Tapi tak lagi sinis. Aku tak tahu entah sejak kapan, tatapan sinisnya itu berubah menjadi tatapan paling romantis yang pernah singgah di mataku.

“V, is very very extraordinary, and…”

Hari ini, genap 9 tahun pertemuan kami. Dan Dira, adalah keping puzzle yang aku rasa dapat melengkapi kisah-kisah hidupku. Bersamanya selama ini, membuatku sadar tentang hidup yang sesungguhnya.

“E, is even more than anyone that you adore and love…”

Aku kembali teringat akan percakapan terakhir yang kami lakukan.

“Ra, jika kamu berkenan, aku ingin memintamu baik-baik, kepada kedua orang tuamu…”
“Maaf, Rey. Tapi semuanya sudah terlambat.”
“Maksudmu?”
“Besok aku lamaran…”

Kini, seseorang yang kuanggap sebagai keping puzzle pelengkap hidup itu sedang merayakan hari bahagianya. Termasuk hari bahagiaku juga, karena melihat orang yang pernah kusayangi sedang berbahagia. Hari ini Dira menikah. Dan aku di hadapan kedua mempelai, menyanyikan sebuah lagu untuk mereka.

Aku kembali mengingat pertanyaan terakhir yang diajukannya padaku di hari itu.
“Rey, kamu mau, kan, nyanyi di acara nikahanku nanti?”
“Siap, bos!”

Sejak saat itu aku menyadari, bahwa berjalan di antara pematang-pematang takdir ini adalah jalan yang terbaik. Bahwa Tuhan telah menggariskan jalan hidup kepada masing-masing makhluk. Dan tunduk kepada setiap bentuk skenarionya adalah merupakan pijakan yang tepat.

Ra, jika aku boleh bertanya satu hal kepadamu. Maka pertanyaanku sederhana saja. Aku yang terlambat datang, ataukah kau yang berlari begitu cepat?

Jarakku mungkin dekat denganmu. Tapi katamu, menembus inti bumi bukanlah hal yang realistis untuk dilakukan.


“Gak realistis, woy! Kalau mau ngegali itu kedalaman bumi, mau berapa lama?”

“Ra, pertanyaannya simpel tentang jarak. Bukan kecepatan. Tentang seberapa dekat, bukan seberapa cepat…”
***


Khatulistiwa, Mei 2016.


Maafin ya kalau fiksinya berantakan banget. Ini otak sama tangan terlalu banyak dicekokin kasus nyata daripada fiksi, sih. Sekalinya pengen refreshing nulis fiksi, malah kayak begini, huhuhu.


Oh iya, cerita versi Dira bisa dibaca di sini.

20 komentar:

  1. Bagus banget ceritanya. Yang bagian pengandaian soal jarak terdekat bumi itu bikin baper. Sial! Ah. Suka deh pokoknya.

    BalasHapus
  2. setuju sama komentarnya si haris... Bagian analogi soal jarak terdekat bumi itu bikin baper massal uwuwuwuwu :')

    BalasHapus
  3. Jadi bingung mbak.
    Itu maksudnya kok si dira bisa tahu kalau rey itu... baiknya nggak cuma sama dia?
    Rey ikhlas banget ya mbak nyanyi di walimahnya dira :)

    BalasHapus
  4. baca cerita sangat serius dan penuh penghayatan sampai-sampai jadi baper kaya gini :D

    BalasHapus
  5. Duuuuh Rey bawain lagunya Nat King Cole lagi. Aaaaaak. Sampe kebayang gini gimana kalau ada Rey beneran di dunia nyata. Tegar nyanyi di nikahan orang yang dia suka :'D

    Pendapat soal fiksinya udah di Line ya, Dar. Cuma ada yang lupa kubilang. Namanya ternyata mirip sama nama kamu. Dira. Dara. Yuhuuuu~

    BalasHapus
  6. Aku kok............ kebawa perasaan gini ya,
    ngebayangin ada lelaki yang nelepon, aku tahu aku pernah suka... sampai nyimpen fotonya didompet.. tapi.... besok aku lamaran...

    ALAMAK,,, APA INIIIIII!!!!
    GILAAAA TERLENAAAAAAAA....
    ngebayangin ada lelaki tegar yang pernah kita syayang, nyanyi Nat King Cole pas nikahan....
    auuuuhhhhhhhhhhh.......
    Suka sama semua kalimatmuuuu, Diraaaa eh Daraaaaa!!!!!!

    salam kenal!

    BalasHapus
  7. Lagu LOVE, sering banget dinyanyiin sama penyanyi-penyanyi kafe nih. Haha.

    Awalnya bingung tentang lomba Fisika itu, eh pas di ending ternyata....

    Bagus! :)

    BalasHapus
  8. kirain gue true story, ra. Goodlah nih story bikin baper, ngenang2 masa lalu gitu :'D

    BalasHapus
  9. Ya Allah, nggak ketebak banget endingnya. Kereeeen Dar. Percakapan sewaktu telfonannya bikin aku baper parah.

    Fiksinya mantap! :))

    BalasHapus
  10. ceritanya asik, dibawa kefisika-fisikaan juga ni mentang si cewek pinter fisika yak. seberapa dekat, bukan seberapa cepat --> pertanyaan yang cocok buat orang2 PDKT

    BalasHapus
  11. Hallo Dara... Ih... kek gini disebut berantakan sama dirimu?? Apa kabar tulisan gue yang masih awuk-awukan itu? -_-

    Ketika percakapan pertama di telepon, gue udah ngerasa ada teks yg hilang. Sempet curiga, sih. Pasti ada yg terjadi di luar dugaan. Bener banget dugaan gue. Di Rey bener2 ditolak. Ya, karena penggalaman telepon itu rasanya kok ada yg hilang. Entah, karena guenya yg telalu baper. Yang jelas, analogi Fisikanya keren banget..

    Fiksinya keren Dara...

    BalasHapus
  12. Suka sama pembukaannya. AKu jadi merasa bodoh. Aaaaakk. \:D/

    BalasHapus
  13. AAaaaaaaakkkkk.... Bagus Dar, fiksinya.... jadi kepingin buat fiksi lagi. xD

    Bukan berantakan sepertinya, Dar, tapi kecepetan. Mungkin karena kamu menilainya berdasarkan kedekatan.

    Berantakan itu kalo tiap scenenya berdekatan, padahal mestinya dipanjangin lagi. Tapi akrena nggak, jadinya kecepetan. aaahhhh cepat, dekat... kata itu mulu yang melekat.

    Ketika ngebaca yang versi andira, pas paragraf awal, aku memilih nggak ngelanjutin, Dar. mungkin cerotanya nyambung, tapi feel di sananya kurang banget. mau disebut sebagai penjelas kenapa tidak mau menerima lamaran Rey pun juga kurang tepat, karena di bagian Rey ini juga udah jelas.

    entahlah, kayaknya ini awalnya emang diniatin bikin satu cerita trus dapet ide dadakan, lima ratusan, jadinya dua versi.

    Tapi tetep aja. Keren fiksinya.... :D

    BalasHapus
  14. Dira..i nya diganti a maka jadi daaaaaa ra

    BalasHapus
  15. kayak tulisannya dee. bagus

    BalasHapus
  16. Dara, Ini fiksinya bikin baper, knp namanya Dira. Pas tau namanya dira ak langsung baper.wkwk

    BalasHapus
  17. Dara, Ini fiksinya bikin baper, knp namanya Dira. Pas tau namanya dira ak langsung baper.wkwk

    BalasHapus
  18. Aku ngerasa cemen...
    Ketje..!!

    Jadi, apakah rey datang terlambat, atau dira yang terlalu cepat?

    BalasHapus
  19. hikkkhiiikkkkkk :'( pastinya bikin baperrrr.... udah sepiicless....kenapa?keNAPA???KENAPAAA??????

    BalasHapus