Awalnya, kupikir kamu adalah sosok yang tidak banyak bicara, dan lebih
sering terlihat serius daripada tersenyum. Tapi kemudian aku yakin bahwa
asumsiku terhadap dirimu selama ini, kebanyakan salah. Ternyata kamu adalah
sosok yang juga suka mengoceh. Kadang menertawaiku. Kadang menasihatiku. Kadang
mengejekku. Tapi lebih sering memberikan penyelesaian atas setiap masalah yang
kumiliki tanpa menimbulkan masalah lainnya. Lah, kamu jadi seperti pegadaian
bila kudeskripsikan seperti ini.
Aku tak pernah berpikir untuk merawat perasaan yang tak bisa
diklasifikasikan hingga selama ini. Maksudku, bukankah ini sudah berjalan
selama 8 tahun lebih? Untuk ukuran cinta-cintaan, suka-sukaan gak jelas yang
kerap dialami anak muda, bukankah rentang waktu ini begitu berlebihan?
Aku pun tak pernah menyangka bahwa sekarang, kita bisa menjadi sedekat
ini. Awalnya, kupikir bahwa ada sekat yang membatasi kita, sebuah jurang yang
aku yakini bahwa itu benar-benar ada. Tapi tidak denganmu. Kamu selalu berjalan
kemanapun kamu mau, karena katamu, rintangan yang ada memang harus dilewati,
kan? Dan kamu, memilih untuk berjalan menujuku. Dan kamu, membuatku yakin bahwa
selama ini, aku lah yang membuatmu terpenjara dalam dinding persepsi yang
kuciptakan sendiri.
Asal kamu tahu, Mama mengenalmu dengan cukup baik. Tapi tidak sebaik aku
mengenalmu.
“Ra, kemarin Mama ketemu sama Tante Yuli…”
“Oh, Mamanya Rey? Kenapa, Ma?”
“Iya… Katanya kan kamu sama Rey udah lama kenal dekat, dan sekarang kalian
udah sama-sama dewasa… Mamanya mau ngejodohin gitu. Kamu mau?”
Jika itu benih tanaman, mungkin
8 tahun akan membuatnya tumbuh menjadi pohon kokoh yang menjulang tinggi. Lalu bagaimana
denganku?
“Kayaknya nggak, deh, Ma… Anaknya playboy
gitu…”
Benih yang ada padaku ini tak
pernah ingin kutanam. Sebab aku takut menuainya. Sebab ini bukan benih biasa.
“Hmm… Kalau gitu, nanti Mama sampaikan ke Tante Yuli, ya.”
“Iya, Ma…”
Hening. Kemudian ada sesuatu yang menggantung di udara. Kemudian jeda.
Dan sesuatu itu seperti sesak yang menyumbat paru-paru.
Kamu itu baik. Tetapi bukan hanya baik kepadaku. Bukan hanya baik kepada
kedua orang tuamu. Bukan hanya baik kepada teman lelakimu. Tapi juga baik pada
semuanya. Termasuk, pada perempuan-perempuan lainnya juga.
Aku yang sering mengatakan bahwa kamu adalah seorang playboy. Dan kamu hanya akan tertawa
setiap aku berkata seperti itu. Memberi label kepadamu memang mudah. Toh, kamu
tidak pernah menyangkalnya. Bagiku, memberi label padamu itu seperti merangkai
hipotesis-hipotesis jumawa, hingga waktu yang akan mengungkap kebenarannya.
Apakah aku cemburu pada kebaikanmu?
Maka, menjadi pendamping bagi orang sepertimu akan sangat berat. Sebab
itu berarti, pendampingmu nanti harus lapang hatinya. Karena ia tak mungkin
memilikimu seorang diri. Karena ia harus siap berbagi tentang dirimu dengan
banyak sekali orang.
Aku tidak tahu, apakah aku bisa menjadi seperti itu atau tidak. Aku tidak
ingin mengatakan bahwa kamu terlalu baik buatku. Tidak. Tidak akan pernah. Karena
berkata seperti itu, berarti akan memutuskan potensi-potensi kebaikan besar
yang seharusnya dapat kulakukan.
Aku selalu meminta kepada Tuhan agar
kelak, cukup menjatuhkanku sekali saja. Kepada orang yang tepat. Pada saat yang
tepat.
Tetapi… bagaimana mungkin, aku
bisa dijatuhkan dua kali kepadamu? Apakah Tuhan tak pernah mengabulkan doaku?
***
Kamu tahu, apa yang lebih
penting daripada perasaan?
Bukti.
Bagiku, bukti jauh lebih penting
daripada perasaan.
Dijatuhkan sebanyak dua kali
kepadamu tidak serta merta membuatku yakin bahwa kamu adalah seseorang yang
tepat untuk ditunggu.
Bagiku, dijatuhkan padamu hingga
sebanyak dan selama ini adalah bukti bahwa memang ada yang punya kuasa untuk membolak-balikkan
hati manusia.
***
Khatulistiwa, awal Mei 2016.
Assalamu’alaikum!
Udah lama, nih, gak nulis fiksi :)
***
Aleppo berdarah.
Lilin dinyalakan untuk Yuyun.
Ada dosen yang entah diapakan
oleh mahasiswa.
Rasanya, dunia sekarang ini
makin tidak baik-baik saja. Semoga bukan hanya kamu, tapi dunia ini, dengan
segera akan menjadi baik-baik saja.
Update: Cerita versi Rey bisa dibaca di sini.
Update: Cerita versi Rey bisa dibaca di sini.
Aku bingung ini fiksi atau cerita pribadi ?
BalasHapusHm iya dunia semakin tidak baik baik saja, memang dari diri sendiri yang harus memulai menanamkan kebaikan.
Mengenai ia yang kamu anggap sebagai playboy karena baik kepada siapapun, dalam tulisan disini. Tidakkah itu terlalu.. maaf.. egois ?
Semoga dia bisa membuktikannya...
BalasHapusKayaknya awal mei ini penuh dengan insiden ya.
BalasHapusBanyak perang, teror juga di mana-mana.
Ya, semoga dunia semakin baik-baik saja.
Aku udah mulai nulis lagi mbak, tapi masih terlalu dasar. Bisa dilihat di blog. Makasih.
tuhan maha adil, 2 kali dijatuhkan sudah lebih dari cukup untuk langkahmu kedepan. dia yang kamu cap, mungkin bisa berubah dilain waktu. ayolah, bilang mama, suruh bilang ke tante yuli, "iya, mau" gitu ra :D
BalasHapusdunia ini bukan akan baik-baik saja, mungkin dunia ini sudah tak lama, ini itu terjadi dimana-mana, sebagian manusia sudah menyerupai hewan, malah tingkah lakunya bisa lebih dari itu~
Dara hebaaat. Aku tadi sebelum dikasih tahu kalo ini fiksi nggak kefikiran sama sekali, loh. Soalnya tokohnya "Ra", kirain beneran kamu .___.
BalasHapusAtuhlah si Eneng, baper euy tiap baca diksinya. Kereeeen.
Eh tapi agak bingung yang bagian terakhir. Itu masih sambungan cerita apa gimana, sih, Ra? :o
Setia banget sampe 8 tahun masih menaruh hati pada orang yang sama. Kalau bukan karena ikatan pernikahaan mungkin aku sudah berpaling karena berlomba dengan usia, as a woman, kita gak akan selamanya muda.
BalasHapusWaalaikumsalam..
BalasHapusUdah kenal 8 tahun padahal, itu kurang apa. Kalau umur manusia, sudah punya anak kelas 2 SD kali.
Iya juga ya, dunia semakin nggak aman. Semoga kita semua selalu diberi keselamatan ya..
Whoaaaaa. Ini serius fiksi, Dar? Asli, berarti kamu sukses bikin aku cengo pas baca bagian yang terakhir-terakhir. :'D
BalasHapusDoanya ya ampun. Nyess banget. Dan iya, Dar. Bukti jauh lebih penting daripada perasaan. Kalau postingan ini ditulis di buku, kalimat itu udah aku stabiloin :)
Aku baca tulisan dari Rey dulu, baru dari sudut seorang Dira. Nggak papa kan, Dar. Hehehee
BalasHapusGilaaaaaakkk bener bangeet Dar. Bukti jauh lebih penting daripada perasaan. Aku butuh bukti sekaraaang. Aaaaakkk
Endingnya :(
Hehe, udah kayak pegadaian ya deskripsi yang di kalimat awal: "menyelesaikan masalah tanpa masalah" :D
BalasHapusFiksinya keren Dar, gua pikir tadinya beneran. Diksi yang lo pake mantap, khususnya kalimat: "aku lah yang membuatmu terpenjara dalam dinding persepsi yang kuciptakan sendiri". Namanya persepsi, jelas tergantung setiap individu, padahal belum tentu demikian adanya. Delapan tahun lama juga tuh, dan butuh suatu kepastian kalo mau melangkah lebih lanjut.
Bukti jauh lebih penting dari perasaan, setuju Dar :D