Salam terhatur untukmu, duhai hati.
Apa kabar?
Masih gersang? Ataukah kemarau akan segera usai?
Padahal di kota ini, musim hujan sudah dimulai dari beberapa bulan
lalu.
Pernah ada seorang guru kehidupan yang berkata kepada muridnya. Tentang
bagaimana menghadapi keresahan. Tentang bagaimana menyikapi masalah hidup. Bahwa
untuk membuat hati lapang, sebaik-baik hal yang dilakukan adalah dengan
mengembalikannya kepada sang Pemilik (masalah), kepada sang Pemberi (masalah).
Maka akan dipahami bahwa sesungguhnya, hidup ini murni hanyalah ujian. Susah
senangnya. Berat ringannya. Sedih bahagianya. Nikmat maupun cobaannya.
Diberi tahunya pula, oleh sang guru kepada muridnya, bahwa jika
kepalamu penuh akan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab, maka
bukalah apa yang ditinggalkan kepadamu di bagian mana saja. Ah ya, yang
dimaksud olehnya adalah pedoman hidup yang kamu punya. Yang dimaksud olehnya
adalah surat-surat yang berasal dari angkasa. Ah, apakah kiasan ini patut
digunakan untuk menyebutnya? Sebab itu adalah kumpulan wahyu yang datangnya
dari Tuhan. Sesuatu yang disebut sebagai Huda. Sebagai petunjuk.
Bukalah, katanya. Buka di bagian mana saja yang kamu inginkan. Lalu
baca. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Bacalah dengan mesra. Sebab… Kamu
pasti rindu untuk berbincang dengan Tuhan, bukan?
Lalu pahami. Pahami dengan dalam. Hingga meresap ke dalam kalbu.
Hingga dapat menyeruak menjadi tindakan. Seperti itu. Semoga yang semula
sempit, kini kian terasa lapang.
Maka pada suatu kala, apa-apa nasihat guru itu dipraktikkan oleh
muridnya. Sebab muridnya, makin hari, makin jengah terhadap kehidupan yang
kini. Ramai, namun terasa hampa olehnya. Sebab baginya, kehampaan bukanlah
tentang ketiadaan apa yang kasat, namun hampa, adalah lebih condong kepada
sebuah pemaknaan.
Pedoman hidup itu dibuka pula olehnya. Dibukanya secara acak, sebab ia
benar-benar rindu berbincang dengan Tuhannya. Maka dibacanya. Maka dicobanya
untuk memahami.
“Dan nikahkanlah orang-orang
yang masih membujang di antara kamu…” (Q. S. An-Nur: 32)
Ditariknya napas panjang. Bagaimana mungkin. Setidak siap ini. Tapi
apa yang diperintahkan oleh Tuhannya? Menikah? Tidak. Tidak mungkin. Ditampiknya
kemungkinan bahwa ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam
kepalanya. Kemudian diteruskannya pada ayat berikutnya.
“Dan orang-orang yang tidak
mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (Q. S. An-Nur: 33)
Ini. Mungkin ini yang lebih masuk akal. Tuhannya menyuruhnya untuk
menjaga diri. Sesimpel itu. Maka tak apalah sunyi. Maka tak apalah hampa. Maka tak
apalah kosong. Untuk sementara waktu.
Dia masih menyimpan banyak sekali tanya di dalam sebongkah otak yang
dimilikinya. Lagi, dilanjutkannya lagi membaca apa yang diyakininya sebagai
petunjuk hidup itu. Dia kemudian membacanya secara mundur. Hingga berhenti
untuk terpekur agak lama pada sebuah kalimat.
“…Dan janganlah mereka
menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…”
(Q. S. An-Nur: 31)
Dia lalu ingat pula pada perkataan gurunya tempo hari. Bahwa pada
zaman dahulu, banyak wanita yang mengenakan perhiasan berupa gelang kaki. Dan
menghentakkan kaki, adalah salah satu cara untuk menarik perhatian orang-orang.
Menghentakkan kaki adalah salah satu cara supaya orang-orang tahu bahwa ia memakai
gelang kaki. Memakai perhiasan.
Ia selalu berkontemplasi tentang masa. Tentang betapa sebentarnya ia
bisa menginjakkan kaki di tempat persinggahan ini. Maka dilakukannya pula
sebuah komparasi mengenai gelang kaki. Tentang wanita-wanita dahulu kala yang
menghentakkan kaki. Tapi tak pernah dilihatnya wanita masa kini melakukannya.
Hendak menghentakkan kaki untuk apa? Pun tak ada perhiasan apapun yang dipakai
di kaki.
Tapi kemudian. Selalu. Tercekat. Ia akan selalu tercekat manakala
sedang berkontemplasi mengenai masa. Disadarinya bahwa menghentakkan kaki
adalah sebentuk penarikan perhatian. Dari mata-mata yang tak seharusnya
memandang. Pada zaman dahulu. Dan kini, penarikan perhatian dapat dilakukan
melalui banyak sekali cara. Agar mata-mata yang sebenarnya tak berhak itu, bisa
leluasa memandang. Lalu bertaburlah sebentuk puja-puji duniawi.
Dia sungguh tercekat. Seperti ada sesuatu yang tajam yang berada di
kerongkongannya. Bukankah jika tujuannya memang sebagai sebentuk penarikan
perhatian, maka ia pula lah wanita masa kini yang menghentakkan kaki?
“…Perbuatan mereka seperti fatamorgana
di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
apabila didatangi tidak ada apa pun…” (Q. S. An-Nur: 39)
“Atau seperti gelap gulita di
lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada
lagi awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis…” (Q. S. An-nur:
40)
Khatulistiwa, penghujung April 2016.
Dan yang dibacanya, adalah syair
paling puisi semasa hidup.
Ini bacanya kayaknya boleh diiringi musik instrumen biar lebih berasa. *ngidupin instrumen*
BalasHapusItu sang Murid, keadaannya sama kayak keadaanmu, Dar? apa sang murid itu kamu? yang pernah dalam kebingungan trus menemukan petunjuk yang menyadarkan.. O_o
Pura-pura jadi hati..
BalasHapusHai, disini aku bik saja. Aku tidak merasakan gersang dan kekeringan disini, aku selalu merasa sejuk. Karena pemilik hati ini senantiasa membaca kitabNya. Hanya saja kesegaran ini bisa lebih lengkap kalau ada sosok yang bisa menemani aku disini.
Ini apaan coba?
Kadang kalau merasa hampa gitu juga tiba-tiba sedih dan serasa sendiri.
BalasHapusSetelah mentadaburi al-Qur'an, Lalu menghafalkan, mengamalkan, dan membaur dengannya. Kata orang begitu.
Semoga rahmat dan berkah dari Allah senantiasa meliputi kita semuanya.
Aamiin :)
Ya ampun baca beginian kok rasanya jadi pengin nikah beneran :')
BalasHapus*setel lagu-lagu opick*
BalasHapuslalu mulai membaca.
MasyaAllah.
Wa alaikumsalam...
BalasHapusIni semacam pembahasan tentang Tabarruj yah... Menarik dan baik cara penulisannya. Like This
tulisannya tjakep, mba. semoga dimudahkan menemukan jalan keluar dari semua kegalauan yang sedang terjadi di hati yah.
BalasHapusiya makanya aku ga pernah pake gelang kaki
BalasHapusjangankan gelang kaki, gelang tangan juga was-was, paling cincin doang buat penanda
Aaaaaaaaaaah... maniiiiis banget sumpah ini tulisan :' syahduuuuuuuu. Nikah, yuk *eh, ini apaan sih*
BalasHapus