Image source |
Ini adalah kisah tentang seseorang yang ditinggalkan oleh dirinya
sendiri. Aih, sulit sekali menjelaskan maksud dari kalimatku barusan. Maksudku,
begini.
Dia adalah seorang anak perempuan yang cerdas dengan prestasi gilang
gemilang. Saat itu usianya 9 tahun, sedang menapaki pendidikan formalnya di sebuah
sekolah dasar. Tak ada yang berbeda dari dirinya, semuanya sama saja dengan
anak-anak kebanyakan.
Hingga pada suatu hari, kakeknya mengalami sakit yang mengharuskan
untuk dirawat inap. Bukan, ini bukanlah suatu penyakit berat. Hanya penyakit biasa
seperti lazimnya yang dialami oleh orang-orang berumur. Maka hari itu, sepulang
sekolah, pergilah ia menjenguk sang kakek di rumah sakit. Ruang rawat inap sang
kakek diisi dengan 2 buah bangsal, yang itu artinya, ada pasien lain yang
berada satu ruangan dengan sang kakek.
Hari itu, dia menghibur kakeknya, mengatakan bahwa sang kakek akan
sembuh dan baik-baik saja. Tak perlu cemas, aku akan selalu mendoakan kakek
setiap aku selesai sholat. Begitu katanya di hari itu. Kakeknya tersenyum, haru
sekaligus bangga karena memiliki cucu seperti dirinya. Anak perempuan yang
tidak hanya pintar, tetapi riang dan murah hati.
Sebagaimana anak-anak lainnya, maka ia pun memiliki rasa penasaran
yang amat tinggi terhadap segala hal. Tadi, saat ia mengatakan bahwa kakeknya
akan baik-baik saja, tanpa sengaja ia mendengar sebuah erangan dari bangsal
sebelah. Sebuah erangan yang ia tahu, bahwa sesiapapun yang membuat suara
seperti itu pasti sedang merasa sangat kesakitan. Maka ia pun jadi semakin
penasaran. Ada apakah gerangan?
Dia membuat sebuah keputusan tanpa perlu berpikir panjang. Disibaknya
tirai pembatas antara bangsal kakek dengan bangsal pasien di sebelah.
Pelan-pelan, dijulurkannya kepala untuk melihat kondisi pasien di sebelah itu.
Tercekat. Kemudian ia terdiam.
Seorang pasien yang amat ringkih, dan tampak sangat kesakitan.
Kakeknya yang tampak baik-baik saja itu sebenarnya sedang sakit, maka bagaimana
lagi dengan pasien yang satu ini. Begitu yang ada dalam kepalanya. Ia pun
kemudian menarik kepalanya perlahan-lahan dari pemandangan yang ia saksikan. Wajahnya
tiba-tiba menjadi pucat.
Pamannya sedang membaca koran saat itu, yang kemudian dihampirinya.
“Paman… Pasien yang di sebelah kakek itu, sakit apa? Kenapa sepertinya
parah sekali?” Begitu yang ia ajukan kepada sang paman.
Mengalihkan pandangan dari koran yang dibacanya, sang paman kemudian
menjawab bahwa pasien itu merupakan pasien yang terinfeksi HIV.
Dia merasa baru mendengar penyakit seperti itu, kemudian menanyakan
kembali kepada pamannya, bagaimana mungkin seseorang bisa terjangkit virus
seperti itu?
Kemudian sang paman menjelaskan bahwa penyakit itu adalah penyakit
yang didapatkan karena seseorang melakukan perbuatan-perbuatan nakal.
Dia membuang napas panjang. Ia tak ingin mengalami sakit seperti itu. Dia
berjanji, dia tak akan pernah menjadi anak nakal.
***
Hingga waktu berlalu selama tiga tahun lamanya. Dia sudah duduk di
kelas 6 SD sekarang. Usia yang dirasa oleh gurunya cukup untuk mengetahui
tentang penyakit yang tiga tahun lalu ditanyakannya pada sang paman.
Setelah dia mendapatkan penjelasan lebih lengkap dari sang guru dan
membaca buku LKS yang dimilikinya, kini dia sudah paham tentang penyakit itu.
Bahwa penularannya bisa melalui banyak cara. Melalui jarum suntik yang dipakai
bersamaan. Melalui ibu kepada janin yang dikandung. Melalui ASI. Melalui
transmisi seksual. Melalui transfusi darah.
Kini ia paham, bahwa ternyata, apa yang dimaksud oleh pamannya tempo
hari, tentang “nakal” yang menjadi sebab atas infeksi HIV itu, adalah perbuatan
nakal yang lebih nakal dibandingkan dengan nakal yang ada dalam pikirannya saat
dulu.
***
Hari ini, ia dirundung demam berkepanjangan. Ini adalah hari ketiga puluh.
Demamnya masih juga belum turun. Ia di rumah sakit. Rawat inap. Dokter pun
kebingungan terhadap penyakitnya. Maka setelah sekian banyak pemeriksaan yang
dilakukan, dokter pun mendiagnosis bahwa dirinya terinfeksi HIV.
Ayah dan Ibunya menunjukkan hasil negatif terhadap pemeriksaan HIV.
Yang itu artinya, sakitnya bukanlah ditularkan kepadanya melalui kedua
orangtuanya. Penyebab lain sangat sulit untuk dihubungkan kepada dirinya,
karena ia selama ini selalu berperilaku baik. Kemudian orang tuanya menjadi
sadar, bahwa dulu, saat baru lahir, ia pernah berada dalam kondisi yang
mengharuskannya menerima transfusi darah.
Dan ia, yang dahulu adalah anak kecil tak berdosa, tanpa bisa menolak,
menerima transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya. Dan siapa yang tahu? Bahwa
darah yang ia terima itu mengandung virus HIV?
Dan ia kemudian menghiba kepada Tuhan, mengapa harus dirinya? Ia tak
pernah meminta dilahirkan dengan kondisi demikian. Ia tak pernah meminta agar
darah yang ditransfusikan ke dalam badannya dulu mengandung virus seperti itu.
Ia tak pernah. Sungguh-sungguh tak pernah.
Kenyataan bahwa ia berusaha tumbuh menjadi anak baik-baik dan bukan
anak nakal adalah kenyataan yang amat pahit saat ia telan. Mengapa? Mengapa penyakit
laknat itu harus singgah ke tubuhnya?
Ia tak pernah siap dengan kondisinya yang sekarang. Ia mengalami
depresi berat. Hilang sudah keceriaan itu dari dirinya. Kini, yang ada hanya
tatapan kosong. Dan ratap-ratap penuh harap.
***
Kini, kukabarkan padamu, teman, bahwa kisah ini nyata adanya. Bagaimana
mungkin seorang anak yang tak bersalah bisa menjadi sedemikian sedihnya, bahkan
depresi, karena mengidap sebuah penyakit yang bahkan ia tak pernah sekalipun
berpikir bahwa ia bisa tertular?
Mengapa ia menjadi depresi, tak lain adalah karena stigma yang kita
sematkan pada penyakit tersebut. Bahwa ia adalah penyakit yang Tuhan kirimkan
untuk para pendosa. Kepada orang-orang yang kotor. Kepada mereka yang sering
melakukan perbuatan nakal.
Padahal, apalah kita? Apakah kita berhak untuk menilai kehidupan orang
lain, sementara hidupnya sendiri masih terus berlanjut dan belum menemui kata
usai? Mengapa kita gemar sekali melabeli, menghakimi? Padahal, dari empat miliar tahun usia bumi ini, paling-paling kita hanya singgah barang 60 atau 70 tahun
lamanya? Dan boleh jadi lebih cepat daripada itu? Sungguh, sebentar sekali kita
berpijak di bumi ini.
Bagaimana mungkin kita masih terus-terusan menatap tajam kepada orang
lain? Padahal, kita sendiri tak pernah tahu bagaimana akhir hidup kita. Apakah lebih
baik daripada orang-orang yang sudah kita labeli itu? Padahal tak ada
seorangpun di dunia ini yang dijamin memiliki akhir kehidupan yang baik?
Kita memang diberi nikmat berupa lisan yang lancar bercerita. Bukan,
bukan untuk menghujamkan belati kepada sesiapa lawan bicara kita. Tapi untuk
menyampaikan nasihat hingga dapat membekas di hati, tanpa perlu menusuknya
terlebih dahulu.
Pun kita diberi nikmat berupa akal untuk membandingkan. Tetapi pun,
bukan untuk membandingkan bahwa kita lebih baik daripada orang lain. Adalah
nikmat itu kita gunakan untuk membandingkan mana hal yang baik dan mana hal
yang buruk, sehingga kita bisa terus berada dalam koridor yang telah ditentukan
oleh Tuhan. Berusaha berjalan dalam jalan yang kita yakini bahwa itu adalah
jalan yang benar.
Sungguh, kita tentu pernah berharap agar segala kesalahan kita bisa
dimaafkan. Tidak, tidak perlulah dilupakan segala bejat yang pernah kita lakukan.
Karena hati manusia, fitrahnya adalah memaafkan, bukan melupakan. Dan apakah
hati kita masih cukup lapang untuk dapat memaafkan masa lalu?
Biasanya tiap orang yang mau donor diperiksa seteliti mungkin ya, ra. bisa kecolongan gitu.
BalasHapusBener ra, harusnya support, don't punish kata rumah cemara. penderita penyakit itu bisa terpojok atau merasa gak diterima di lingkungan masyarakat, bisa juga menyebabkan dia punya niat buat mengakhiri hidupnya karena gak ada yang support. harusnya kan gak gitu ya bu.
Nah iya, bang. Aku juga ga tau gimana, kenapa bisa sampai ada darah yang HIV positif bisa lolos gitu...
HapusIni juga kan kejadian transfusinya udah lama banget, sekitar 12 tahun lalu... Jadi aku beneran gak tau gimana prosedur baku yang berlaku saat itu... Sedih mah ini bisa ada yang kayak gini :(
Trus ya itu, si anaknya udah terlanjur tahunya kalau itu penyakit orang-orang nakal... Jadi gitu :'(
pelajaran buatmu ra, buat nanti udah jadi dr, periksa seteliti mungkin. satu lagi, ini uneg-uneg gue ya, utamakan keselamatan semua pasien, jangan dulu suruh ke administrasi atau segala macem pembayaran, kalaupun itu prosedur RS, di langgar demi kemanusiaan itu lebih keren. hehe :D
HapusActually, bang. Kemungkinan besar, orang yang ngedonorin darah itu, pas lagi donor, dia sedang berada di fase dimana dia udah terinfeksi HIV, tapi emang belum bisa dideteksi. Karena yang dilakukan oleh PMI itu kan biasanya pemeriksaan antibodi, sedangkan antibodi itu akan terbentuk beberapa hari (kalau HIV, biasanya beberapa bulan) setelah virusnya masuk ke tubuh. Gitu sih bang. Jadi ya gitu, gak bisa bilang kalau petugasnya gak teliti juga... :(
HapusSiap grak, bang. Insya Allah dilaksanakan nih nasihatnya hehehe~
Ya Ampun kasian banget si anak itu, tak berdosa sedikit pun. Namun terkena penyakit ganas itu gara2 kesalahan medis. Jadi takut gue kalo transfusi darah dari orang lain.
BalasHapusPertanyaan gue juga sama kayak bang Erdi. Apa nggak ada filter dari si Rumah sakit tentang pendonor itu, sampe bisa kecolongan kek gitu. :(
Aku juga gatau gimana ya ini, Ka... Tumben banget bisa ada darah infeksius yang bisa lolos buat transfusi... Beneran, gak tau kenapa hal fatal kayak gini bisa kejadian...
HapusPertanyaan bang Erdi udah dijawab, Ka... :(
Gue turut beduka mendengar berita itu ra, gue juga enggak habis pikir gimana caranya darah postif HIV bisa diberikan ke pasien yang membutuhkan darah.
BalasHapusKalau kita analisis, gini prosesnya:
Kantong darah disumbangkan oleh si pendonor, biasanya di event donor darah, nah darah-darah ini didistribusikan ke PMI, seharusnya dari PMI melakukan pengecekan seteliti mungkin karena darah yang kelak digunakan oleh pasien yang membutuhkan darah tidak terinfeksi penyakit menular seperti HIV ini, lalu kantong darah itu didistribusikan lagi ke rumah sakit, dari rumah sakit baru ke pasien.
Kalo alurnya seperti itu, berarti ada 3 pihak sebelum sampai ke pihak ke 4, pasien. Mereka:
Pendonor
PMI
Rumah Sakit
Ini kemungkinan idealnya:
1. Pendonor darah dan penyelenggara event donor darah.
Kemungkinan pertama, Kalau pendonor itu positif HIV, seharusnya panitia event donor darah menolak sumbangan darah itu, maka dari itu, perlu adanya pengecekan darah dulu, apakah si pendonor membawa penyakit atau tidak. Kemungkinan kedua, panitia meloloskan semua orang tanpa pengecekan sama sekali yang penting mereka mendapatkan sumbangan donor darah sebanyak-banyaknya, mengingat kebutuhan akan donor darah terbilang tinggi, panitia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengecek pendonor satu-persatu, akhirnya penderita HIV bisa mendonorkan darahnya, darah berisi HIV lolos.
2. PMI
Kemungkinan pertama, PMI melakukan pengecekan ulang terhadap darah2 yang masuk ke database mereka, alhasil darah yang terkontaminasi HIV akan dibuang.
Kemungkinan kedua, bisa saja ada anggapan kalau pengecekan darah hanya perlu dilakukan di tempat penyelenggara donor darah, maka PMI tidak melakukan prosedur pengecekan ulang, darah HIV lolos.
3. Rumah sakit
Kemngkinan pertama, kalau semua prosesnya lancar, pendonor sehat, pengecekan panitia donor darah dilakukan, dan PMI melakukan cek ulang kembali, darah yang sampai ke rumah sakit terbukti lolos uji kelayakan pakai untuk pasien karena tidak mengandung penyakit berbahaya.
Kemungkinan kedua, proses yang saya sebutkan di kemungkinan pertama diatas tidak berjalan dengan lancar, sehingga adanya darah yang terkontaminasi penyakit yang lolos.
Kemungkinan ketiga, skema ini diluar proses yang udah gue jelaskan tadi, jadi rumah sakit menerima donor darah langsung karena mengingat kebutuhan darah dari bulan ke bulan terus meningkat, kalau menunggu dari PMI, proses birokrasi pengirimannya lama, jadi pihak rumah sakit meloloskan semua orang yang mau menyumbangkan darahnya dan viola! Darah HIV lolos.
Pihak terakhir yang menerima darah, pasien, kalau prosesnya benar, maka pasien ini selamat dan sehat, kalau tidak ya sebaliknya.
Semua yang gue tanggapi di komentar ini adalah pemikiran gue, based on my logical thinking, ya mungkin dara lebih tau dari gue gimana proses sebuah kantong darah bisa sampe ke pasien, ya buat diskusi aja, gimana menurut dara?
Menurutku, kurang lebih sama komen yang buat bang Erdi sih, Gung. Nih aku copy-in yaaaa huehehe.
Hapus"Actually, bang. Kemungkinan besar, orang yang ngedonorin darah itu, pas lagi donor, dia sedang berada di fase dimana dia udah terinfeksi HIV, tapi emang belum bisa dideteksi. Karena yang dilakukan oleh PMI itu kan biasanya pemeriksaan antibodi, sedangkan antibodi itu akan terbentuk beberapa hari (kalau HIV, biasanya beberapa bulan) setelah virusnya masuk ke tubuh. Gitu sih bang. Jadi ya gitu, gak bisa bilang kalau petugasnya gak teliti juga... :("
Itu kasihan banget mbak, terus reaksi orang tuanya gimana?
BalasHapusBener banget, kadang kita masih bisa men-judge orang lain, padahal kita lebih patut buat dikasihani
Semangat dek, di luar sana masih ada kok yang nggak menerapkan stigma tersebut mentah-mentah :)
Orang tuanya ya begitu :)
HapusDuh, kasian banget. Kok bisa sampe lolos ya kantong darah yang mengandung HIV? masa gak dicek sama pihak rumah sakitnya. Semoga anak itu tetap kuat. diberkati, dan panjang umur.
BalasHapusSedih banget baca ginian :(
Bukannya gak dicek, baaaang. Tapi pas dicek, itu emang HIV nya belum bisa kedeteksi. Biasanya kita sebut sebagai window period, sih, bang.
HapusTapi ya gak tau juga sih ya. Kejadiannya udah belasan tahun lalu :(
Itu... kenapa bisa ya :( bisa-bisanya dapet transfusi darah dari orang yang pengidap HIV :' Sedih :(
BalasHapusKalimat-kalimat diakhir, serasa digampar-gampar :')
Iya, bang, sedih :(
HapusHuaaaaaa. Sedih baca gini. Apalagi pas di kalimat, "Kisah ini nyata adanya." Sama kayak Erdi dan Azka, aku juga heran kenapa bisa lolos darah yang terinfeksi HIV itu. Tapi bener kata kamu, Dar. Mana kita tau sistem transfusi waktu dulu itu kayak gimana. Mungkin memang kurang teliti atau apa :(
BalasHapusSoal melabeli, kebanyakan orang punya kebiasaan kayak gitu ya. Melabeli, apalagi dilabeli sembarang orang dengan label seenak jidat yang dilihat dari luarnya aja itu nggak enak banget. Huhuhu. Baiknya dan harusnya kita ngebaca diri kita sendiri dulu, baru dengan sengaknya baca orang lain. Eh iya gitu nggak sih, Dar? :(
Aku sih curiganya si orangnya donor pas baru terinfeksi HIV, Cha. Jadi, walaupun dites, tetep hasil tesnya bakalan negatif...
HapusDigituin aja deh, Cha :)
Hmm, turut sedih deh buat si adik kecil. Semoga bisa lekas sembuh, HIV masih bisa disembuhkan kan?
BalasHapusBaru tau kalau virusnya ternyata bisa berkembang lama ya, padahal si adik sudah ditransfusi sejak kecil tapi virusnya. Aneh aja sih kok darah yang mengandung virus bisa aja ditransfusikan, harusnya kan dites dulu ya..
Semoga si adik selalu diberi kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan :)
Sebenernya, Ki, HIV gak bisa sembuh. Sampai saat ini adanya cuma obat buat memperlambat progress penyakitnya...
HapusBisa lama kok... Tapi jarang kalau infeksi HIV di anak yang perkembangan virusnya selama ini. Hanya di sebagian kecil anak saja. Itu kayaknya darahnya pastinya udah dites, Ki...
Kok bisa gitu yaa, nyawa orang jadi taruhan karna kelalaian orang kesehatan sendiri.
BalasHapusHmmm gimana ya... Gak bisa dibilang kelalaian tenaga kesehatan juga sih, Jov...
HapusKarena ya bisa jadi pada saat tes, itu emang belum bisa kedeteksi HIV nya :(
Ya alloh dar ini true story
BalasHapusKalo iya mah sungguh ku ga bisa berkata kata
Klo salah transfusi gitu dari sisi medis bisa dicek ga sih darah yang ngandung hiv itu kliatan ga gitu?
Di PMI pasti ada skriningnya Mba Nit... Jadi ya seharusnya darah yang ada HIV sama hepatitis B pasti gak bakalan lolos.
HapusNah kalau ini nih pengecualian deh sepertinya. Mungkin aja orangnya donor pas masih window period HIV. Jadi emang belum bisa dideteksi :(
Turut berduka *tear
BalasHapusSungguh malang nasib anak itu, sudah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan HIV malah tertulat tanpa sengaja.
Gimana kondisi anak'a sekarang Dar?
Iya, Ki. Kasian :(
Hapusseseorang yang meninggalkan dirinya sendiri? hmm, jadi semacam paradoks. waduh, HIV itu emang ganas abis. serius, itu sih sad story banget yak. i'm so sorry for her.memang musibah itubisa menimpah siapa saja, dengan cara apa saja. huhhh
BalasHapus:'(
HapusSedih baca ceritanya, apalagi pas tahu kalo itu cerita nyata. Meskipun memang ada kesalahan atau ketidakakuratan di satu pihak, gua ga bisa menyalahkan pihak manapun, toh namanya kematian cuma Allah yang tahu skenarionya. Bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan dalam situasi apapun. :(
BalasHapusMengenai stigma... ah, pemaparan lo keren, Dar. Gua speechless pas baca kalimat: "Bagaimana mungkin kita masih terus-terusan menatap tajam kepada orang lain? Padahal, kita sendiri tak pernah tahu bagaimana akhir hidup kita." Semua orang bergelut dengan problematika hidupnya masing-masing, dan kita pun juga begitu. Kita ngga tahu pasti apa yang sudah dilalui seseorang semasa hidupnya. Meskipun suatu hal itu tidak baik, pasti ada hikmah yang menyertainya.