Sabtu, 30 April 2016

Seperti Ada yang Menjagamu


Assalamu’alaikum :)

Salam terhatur untukmu, duhai hati.
Apa kabar?
Masih gersang? Ataukah kemarau akan segera usai?
Padahal di kota ini, musim hujan sudah dimulai dari beberapa bulan lalu.

Pernah ada seorang guru kehidupan yang berkata kepada muridnya. Tentang bagaimana menghadapi keresahan. Tentang bagaimana menyikapi masalah hidup. Bahwa untuk membuat hati lapang, sebaik-baik hal yang dilakukan adalah dengan mengembalikannya kepada sang Pemilik (masalah), kepada sang Pemberi (masalah). Maka akan dipahami bahwa sesungguhnya, hidup ini murni hanyalah ujian. Susah senangnya. Berat ringannya. Sedih bahagianya. Nikmat maupun cobaannya.


Diberi tahunya pula, oleh sang guru kepada muridnya, bahwa jika kepalamu penuh akan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab, maka bukalah apa yang ditinggalkan kepadamu di bagian mana saja. Ah ya, yang dimaksud olehnya adalah pedoman hidup yang kamu punya. Yang dimaksud olehnya adalah surat-surat yang berasal dari angkasa. Ah, apakah kiasan ini patut digunakan untuk menyebutnya? Sebab itu adalah kumpulan wahyu yang datangnya dari Tuhan. Sesuatu yang disebut sebagai Huda. Sebagai petunjuk.

Bukalah, katanya. Buka di bagian mana saja yang kamu inginkan. Lalu baca. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Bacalah dengan mesra. Sebab… Kamu pasti rindu untuk berbincang dengan Tuhan, bukan?

Lalu pahami. Pahami dengan dalam. Hingga meresap ke dalam kalbu. Hingga dapat menyeruak menjadi tindakan. Seperti itu. Semoga yang semula sempit, kini kian terasa lapang.

Maka pada suatu kala, apa-apa nasihat guru itu dipraktikkan oleh muridnya. Sebab muridnya, makin hari, makin jengah terhadap kehidupan yang kini. Ramai, namun terasa hampa olehnya. Sebab baginya, kehampaan bukanlah tentang ketiadaan apa yang kasat, namun hampa, adalah lebih condong kepada sebuah pemaknaan.

Pedoman hidup itu dibuka pula olehnya. Dibukanya secara acak, sebab ia benar-benar rindu berbincang dengan Tuhannya. Maka dibacanya. Maka dicobanya untuk memahami.

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu…” (Q. S. An-Nur: 32)

Ditariknya napas panjang. Bagaimana mungkin. Setidak siap ini. Tapi apa yang diperintahkan oleh Tuhannya? Menikah? Tidak. Tidak mungkin. Ditampiknya kemungkinan bahwa ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Kemudian diteruskannya pada ayat berikutnya.

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (Q. S. An-Nur: 33)

Ini. Mungkin ini yang lebih masuk akal. Tuhannya menyuruhnya untuk menjaga diri. Sesimpel itu. Maka tak apalah sunyi. Maka tak apalah hampa. Maka tak apalah kosong. Untuk sementara waktu.

Dia masih menyimpan banyak sekali tanya di dalam sebongkah otak yang dimilikinya. Lagi, dilanjutkannya lagi membaca apa yang diyakininya sebagai petunjuk hidup itu. Dia kemudian membacanya secara mundur. Hingga berhenti untuk terpekur agak lama pada sebuah kalimat.

“…Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (Q. S. An-Nur: 31)

Dia lalu ingat pula pada perkataan gurunya tempo hari. Bahwa pada zaman dahulu, banyak wanita yang mengenakan perhiasan berupa gelang kaki. Dan menghentakkan kaki, adalah salah satu cara untuk menarik perhatian orang-orang. Menghentakkan kaki adalah salah satu cara supaya orang-orang tahu bahwa ia memakai gelang kaki. Memakai perhiasan.

Ia selalu berkontemplasi tentang masa. Tentang betapa sebentarnya ia bisa menginjakkan kaki di tempat persinggahan ini. Maka dilakukannya pula sebuah komparasi mengenai gelang kaki. Tentang wanita-wanita dahulu kala yang menghentakkan kaki. Tapi tak pernah dilihatnya wanita masa kini melakukannya. Hendak menghentakkan kaki untuk apa? Pun tak ada perhiasan apapun yang dipakai di kaki.

Tapi kemudian. Selalu. Tercekat. Ia akan selalu tercekat manakala sedang berkontemplasi mengenai masa. Disadarinya bahwa menghentakkan kaki adalah sebentuk penarikan perhatian. Dari mata-mata yang tak seharusnya memandang. Pada zaman dahulu. Dan kini, penarikan perhatian dapat dilakukan melalui banyak sekali cara. Agar mata-mata yang sebenarnya tak berhak itu, bisa leluasa memandang. Lalu bertaburlah sebentuk puja-puji duniawi.

Dia sungguh tercekat. Seperti ada sesuatu yang tajam yang berada di kerongkongannya. Bukankah jika tujuannya memang sebagai sebentuk penarikan perhatian, maka ia pula lah wanita masa kini yang menghentakkan kaki?

“…Perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun…” (Q. S. An-Nur: 39)

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada lagi awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis…” (Q. S. An-nur: 40)



Khatulistiwa, penghujung April 2016.

Dan yang dibacanya, adalah syair paling puisi semasa hidup.



9 komentar:

  1. Ini bacanya kayaknya boleh diiringi musik instrumen biar lebih berasa. *ngidupin instrumen*

    Itu sang Murid, keadaannya sama kayak keadaanmu, Dar? apa sang murid itu kamu? yang pernah dalam kebingungan trus menemukan petunjuk yang menyadarkan.. O_o

    BalasHapus
  2. Pura-pura jadi hati..
    Hai, disini aku bik saja. Aku tidak merasakan gersang dan kekeringan disini, aku selalu merasa sejuk. Karena pemilik hati ini senantiasa membaca kitabNya. Hanya saja kesegaran ini bisa lebih lengkap kalau ada sosok yang bisa menemani aku disini.

    Ini apaan coba?

    BalasHapus
  3. Kadang kalau merasa hampa gitu juga tiba-tiba sedih dan serasa sendiri.
    Setelah mentadaburi al-Qur'an, Lalu menghafalkan, mengamalkan, dan membaur dengannya. Kata orang begitu.

    Semoga rahmat dan berkah dari Allah senantiasa meliputi kita semuanya.
    Aamiin :)

    BalasHapus
  4. Ya ampun baca beginian kok rasanya jadi pengin nikah beneran :')

    BalasHapus
  5. *setel lagu-lagu opick*
    lalu mulai membaca.
    MasyaAllah.

    BalasHapus
  6. Wa alaikumsalam...
    Ini semacam pembahasan tentang Tabarruj yah... Menarik dan baik cara penulisannya. Like This

    BalasHapus
  7. tulisannya tjakep, mba. semoga dimudahkan menemukan jalan keluar dari semua kegalauan yang sedang terjadi di hati yah.

    BalasHapus
  8. iya makanya aku ga pernah pake gelang kaki
    jangankan gelang kaki, gelang tangan juga was-was, paling cincin doang buat penanda

    BalasHapus
  9. Aaaaaaaaaaah... maniiiiis banget sumpah ini tulisan :' syahduuuuuuuu. Nikah, yuk *eh, ini apaan sih*

    BalasHapus