Minggu, 24 April 2016

Stigma

Image source

Ini adalah kisah tentang seseorang yang ditinggalkan oleh dirinya sendiri. Aih, sulit sekali menjelaskan maksud dari kalimatku barusan. Maksudku, begini.

Dia adalah seorang anak perempuan yang cerdas dengan prestasi gilang gemilang. Saat itu usianya 9 tahun, sedang menapaki pendidikan formalnya di sebuah sekolah dasar. Tak ada yang berbeda dari dirinya, semuanya sama saja dengan anak-anak kebanyakan.

Hingga pada suatu hari, kakeknya mengalami sakit yang mengharuskan untuk dirawat inap. Bukan, ini bukanlah suatu penyakit berat. Hanya penyakit biasa seperti lazimnya yang dialami oleh orang-orang berumur. Maka hari itu, sepulang sekolah, pergilah ia menjenguk sang kakek di rumah sakit. Ruang rawat inap sang kakek diisi dengan 2 buah bangsal, yang itu artinya, ada pasien lain yang berada satu ruangan dengan sang kakek.


Hari itu, dia menghibur kakeknya, mengatakan bahwa sang kakek akan sembuh dan baik-baik saja. Tak perlu cemas, aku akan selalu mendoakan kakek setiap aku selesai sholat. Begitu katanya di hari itu. Kakeknya tersenyum, haru sekaligus bangga karena memiliki cucu seperti dirinya. Anak perempuan yang tidak hanya pintar, tetapi riang dan murah hati.

Sebagaimana anak-anak lainnya, maka ia pun memiliki rasa penasaran yang amat tinggi terhadap segala hal. Tadi, saat ia mengatakan bahwa kakeknya akan baik-baik saja, tanpa sengaja ia mendengar sebuah erangan dari bangsal sebelah. Sebuah erangan yang ia tahu, bahwa sesiapapun yang membuat suara seperti itu pasti sedang merasa sangat kesakitan. Maka ia pun jadi semakin penasaran. Ada apakah gerangan?

Dia membuat sebuah keputusan tanpa perlu berpikir panjang. Disibaknya tirai pembatas antara bangsal kakek dengan bangsal pasien di sebelah. Pelan-pelan, dijulurkannya kepala untuk melihat kondisi pasien di sebelah itu. Tercekat. Kemudian ia terdiam.

Seorang pasien yang amat ringkih, dan tampak sangat kesakitan. Kakeknya yang tampak baik-baik saja itu sebenarnya sedang sakit, maka bagaimana lagi dengan pasien yang satu ini. Begitu yang ada dalam kepalanya. Ia pun kemudian menarik kepalanya perlahan-lahan dari pemandangan yang ia saksikan. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.

Pamannya sedang membaca koran saat itu, yang kemudian dihampirinya.

“Paman… Pasien yang di sebelah kakek itu, sakit apa? Kenapa sepertinya parah sekali?” Begitu yang ia ajukan kepada sang paman.

Mengalihkan pandangan dari koran yang dibacanya, sang paman kemudian menjawab bahwa pasien itu merupakan pasien yang terinfeksi HIV.

Dia merasa baru mendengar penyakit seperti itu, kemudian menanyakan kembali kepada pamannya, bagaimana mungkin seseorang bisa terjangkit virus seperti itu?

Kemudian sang paman menjelaskan bahwa penyakit itu adalah penyakit yang didapatkan karena seseorang melakukan perbuatan-perbuatan nakal.

Dia membuang napas panjang. Ia tak ingin mengalami sakit seperti itu. Dia berjanji, dia tak akan pernah menjadi anak nakal.
***

Hingga waktu berlalu selama tiga tahun lamanya. Dia sudah duduk di kelas 6 SD sekarang. Usia yang dirasa oleh gurunya cukup untuk mengetahui tentang penyakit yang tiga tahun lalu ditanyakannya pada sang paman.

Setelah dia mendapatkan penjelasan lebih lengkap dari sang guru dan membaca buku LKS yang dimilikinya, kini dia sudah paham tentang penyakit itu. Bahwa penularannya bisa melalui banyak cara. Melalui jarum suntik yang dipakai bersamaan. Melalui ibu kepada janin yang dikandung. Melalui ASI. Melalui transmisi seksual. Melalui transfusi darah.

Kini ia paham, bahwa ternyata, apa yang dimaksud oleh pamannya tempo hari, tentang “nakal” yang menjadi sebab atas infeksi HIV itu, adalah perbuatan nakal yang lebih nakal dibandingkan dengan nakal yang ada dalam pikirannya saat dulu.
***

Hari ini, ia dirundung demam berkepanjangan. Ini adalah hari ketiga puluh. Demamnya masih juga belum turun. Ia di rumah sakit. Rawat inap. Dokter pun kebingungan terhadap penyakitnya. Maka setelah sekian banyak pemeriksaan yang dilakukan, dokter pun mendiagnosis bahwa dirinya terinfeksi HIV.

Ayah dan Ibunya menunjukkan hasil negatif terhadap pemeriksaan HIV. Yang itu artinya, sakitnya bukanlah ditularkan kepadanya melalui kedua orangtuanya. Penyebab lain sangat sulit untuk dihubungkan kepada dirinya, karena ia selama ini selalu berperilaku baik. Kemudian orang tuanya menjadi sadar, bahwa dulu, saat baru lahir, ia pernah berada dalam kondisi yang mengharuskannya menerima transfusi darah.

Dan ia, yang dahulu adalah anak kecil tak berdosa, tanpa bisa menolak, menerima transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya. Dan siapa yang tahu? Bahwa darah yang ia terima itu mengandung virus HIV?

Dan ia kemudian menghiba kepada Tuhan, mengapa harus dirinya? Ia tak pernah meminta dilahirkan dengan kondisi demikian. Ia tak pernah meminta agar darah yang ditransfusikan ke dalam badannya dulu mengandung virus seperti itu. Ia tak pernah. Sungguh-sungguh tak pernah.

Kenyataan bahwa ia berusaha tumbuh menjadi anak baik-baik dan bukan anak nakal adalah kenyataan yang amat pahit saat ia telan. Mengapa? Mengapa penyakit laknat itu harus singgah ke tubuhnya?

Ia tak pernah siap dengan kondisinya yang sekarang. Ia mengalami depresi berat. Hilang sudah keceriaan itu dari dirinya. Kini, yang ada hanya tatapan kosong. Dan ratap-ratap penuh harap.
***

Kini, kukabarkan padamu, teman, bahwa kisah ini nyata adanya. Bagaimana mungkin seorang anak yang tak bersalah bisa menjadi sedemikian sedihnya, bahkan depresi, karena mengidap sebuah penyakit yang bahkan ia tak pernah sekalipun berpikir bahwa ia bisa tertular?

Mengapa ia menjadi depresi, tak lain adalah karena stigma yang kita sematkan pada penyakit tersebut. Bahwa ia adalah penyakit yang Tuhan kirimkan untuk para pendosa. Kepada orang-orang yang kotor. Kepada mereka yang sering melakukan perbuatan nakal.

Padahal, apalah kita? Apakah kita berhak untuk menilai kehidupan orang lain, sementara hidupnya sendiri masih terus berlanjut dan belum menemui kata usai? Mengapa kita gemar sekali melabeli, menghakimi? Padahal, dari empat miliar tahun usia bumi ini, paling-paling kita hanya singgah barang 60 atau 70 tahun lamanya? Dan boleh jadi lebih cepat daripada itu? Sungguh, sebentar sekali kita berpijak di bumi ini.

Bagaimana mungkin kita masih terus-terusan menatap tajam kepada orang lain? Padahal, kita sendiri tak pernah tahu bagaimana akhir hidup kita. Apakah lebih baik daripada orang-orang yang sudah kita labeli itu? Padahal tak ada seorangpun di dunia ini yang dijamin memiliki akhir kehidupan yang baik?

Kita memang diberi nikmat berupa lisan yang lancar bercerita. Bukan, bukan untuk menghujamkan belati kepada sesiapa lawan bicara kita. Tapi untuk menyampaikan nasihat hingga dapat membekas di hati, tanpa perlu menusuknya terlebih dahulu.

Pun kita diberi nikmat berupa akal untuk membandingkan. Tetapi pun, bukan untuk membandingkan bahwa kita lebih baik daripada orang lain. Adalah nikmat itu kita gunakan untuk membandingkan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, sehingga kita bisa terus berada dalam koridor yang telah ditentukan oleh Tuhan. Berusaha berjalan dalam jalan yang kita yakini bahwa itu adalah jalan yang benar.


Sungguh, kita tentu pernah berharap agar segala kesalahan kita bisa dimaafkan. Tidak, tidak perlulah dilupakan segala bejat yang pernah kita lakukan. Karena hati manusia, fitrahnya adalah memaafkan, bukan melupakan. Dan apakah hati kita masih cukup lapang untuk dapat memaafkan masa lalu?

27 komentar:

  1. Biasanya tiap orang yang mau donor diperiksa seteliti mungkin ya, ra. bisa kecolongan gitu.
    Bener ra, harusnya support, don't punish kata rumah cemara. penderita penyakit itu bisa terpojok atau merasa gak diterima di lingkungan masyarakat, bisa juga menyebabkan dia punya niat buat mengakhiri hidupnya karena gak ada yang support. harusnya kan gak gitu ya bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, bang. Aku juga ga tau gimana, kenapa bisa sampai ada darah yang HIV positif bisa lolos gitu...
      Ini juga kan kejadian transfusinya udah lama banget, sekitar 12 tahun lalu... Jadi aku beneran gak tau gimana prosedur baku yang berlaku saat itu... Sedih mah ini bisa ada yang kayak gini :(

      Trus ya itu, si anaknya udah terlanjur tahunya kalau itu penyakit orang-orang nakal... Jadi gitu :'(

      Hapus
    2. pelajaran buatmu ra, buat nanti udah jadi dr, periksa seteliti mungkin. satu lagi, ini uneg-uneg gue ya, utamakan keselamatan semua pasien, jangan dulu suruh ke administrasi atau segala macem pembayaran, kalaupun itu prosedur RS, di langgar demi kemanusiaan itu lebih keren. hehe :D

      Hapus
    3. Actually, bang. Kemungkinan besar, orang yang ngedonorin darah itu, pas lagi donor, dia sedang berada di fase dimana dia udah terinfeksi HIV, tapi emang belum bisa dideteksi. Karena yang dilakukan oleh PMI itu kan biasanya pemeriksaan antibodi, sedangkan antibodi itu akan terbentuk beberapa hari (kalau HIV, biasanya beberapa bulan) setelah virusnya masuk ke tubuh. Gitu sih bang. Jadi ya gitu, gak bisa bilang kalau petugasnya gak teliti juga... :(

      Siap grak, bang. Insya Allah dilaksanakan nih nasihatnya hehehe~

      Hapus
  2. Ya Ampun kasian banget si anak itu, tak berdosa sedikit pun. Namun terkena penyakit ganas itu gara2 kesalahan medis. Jadi takut gue kalo transfusi darah dari orang lain.
    Pertanyaan gue juga sama kayak bang Erdi. Apa nggak ada filter dari si Rumah sakit tentang pendonor itu, sampe bisa kecolongan kek gitu. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga gatau gimana ya ini, Ka... Tumben banget bisa ada darah infeksius yang bisa lolos buat transfusi... Beneran, gak tau kenapa hal fatal kayak gini bisa kejadian...

      Pertanyaan bang Erdi udah dijawab, Ka... :(

      Hapus
  3. Gue turut beduka mendengar berita itu ra, gue juga enggak habis pikir gimana caranya darah postif HIV bisa diberikan ke pasien yang membutuhkan darah.

    Kalau kita analisis, gini prosesnya:

    Kantong darah disumbangkan oleh si pendonor, biasanya di event donor darah, nah darah-darah ini didistribusikan ke PMI, seharusnya dari PMI melakukan pengecekan seteliti mungkin karena darah yang kelak digunakan oleh pasien yang membutuhkan darah tidak terinfeksi penyakit menular seperti HIV ini, lalu kantong darah itu didistribusikan lagi ke rumah sakit, dari rumah sakit baru ke pasien.

    Kalo alurnya seperti itu, berarti ada 3 pihak sebelum sampai ke pihak ke 4, pasien. Mereka:

    Pendonor
    PMI
    Rumah Sakit

    Ini kemungkinan idealnya:

    1. Pendonor darah dan penyelenggara event donor darah.

    Kemungkinan pertama, Kalau pendonor itu positif HIV, seharusnya panitia event donor darah menolak sumbangan darah itu, maka dari itu, perlu adanya pengecekan darah dulu, apakah si pendonor membawa penyakit atau tidak. Kemungkinan kedua, panitia meloloskan semua orang tanpa pengecekan sama sekali yang penting mereka mendapatkan sumbangan donor darah sebanyak-banyaknya, mengingat kebutuhan akan donor darah terbilang tinggi, panitia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengecek pendonor satu-persatu, akhirnya penderita HIV bisa mendonorkan darahnya, darah berisi HIV lolos.

    2. PMI
    Kemungkinan pertama, PMI melakukan pengecekan ulang terhadap darah2 yang masuk ke database mereka, alhasil darah yang terkontaminasi HIV akan dibuang.
    Kemungkinan kedua, bisa saja ada anggapan kalau pengecekan darah hanya perlu dilakukan di tempat penyelenggara donor darah, maka PMI tidak melakukan prosedur pengecekan ulang, darah HIV lolos.

    3. Rumah sakit
    Kemngkinan pertama, kalau semua prosesnya lancar, pendonor sehat, pengecekan panitia donor darah dilakukan, dan PMI melakukan cek ulang kembali, darah yang sampai ke rumah sakit terbukti lolos uji kelayakan pakai untuk pasien karena tidak mengandung penyakit berbahaya.
    Kemungkinan kedua, proses yang saya sebutkan di kemungkinan pertama diatas tidak berjalan dengan lancar, sehingga adanya darah yang terkontaminasi penyakit yang lolos.
    Kemungkinan ketiga, skema ini diluar proses yang udah gue jelaskan tadi, jadi rumah sakit menerima donor darah langsung karena mengingat kebutuhan darah dari bulan ke bulan terus meningkat, kalau menunggu dari PMI, proses birokrasi pengirimannya lama, jadi pihak rumah sakit meloloskan semua orang yang mau menyumbangkan darahnya dan viola! Darah HIV lolos.

    Pihak terakhir yang menerima darah, pasien, kalau prosesnya benar, maka pasien ini selamat dan sehat, kalau tidak ya sebaliknya.

    Semua yang gue tanggapi di komentar ini adalah pemikiran gue, based on my logical thinking, ya mungkin dara lebih tau dari gue gimana proses sebuah kantong darah bisa sampe ke pasien, ya buat diskusi aja, gimana menurut dara?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurutku, kurang lebih sama komen yang buat bang Erdi sih, Gung. Nih aku copy-in yaaaa huehehe.

      "Actually, bang. Kemungkinan besar, orang yang ngedonorin darah itu, pas lagi donor, dia sedang berada di fase dimana dia udah terinfeksi HIV, tapi emang belum bisa dideteksi. Karena yang dilakukan oleh PMI itu kan biasanya pemeriksaan antibodi, sedangkan antibodi itu akan terbentuk beberapa hari (kalau HIV, biasanya beberapa bulan) setelah virusnya masuk ke tubuh. Gitu sih bang. Jadi ya gitu, gak bisa bilang kalau petugasnya gak teliti juga... :("

      Hapus
  4. Itu kasihan banget mbak, terus reaksi orang tuanya gimana?

    Bener banget, kadang kita masih bisa men-judge orang lain, padahal kita lebih patut buat dikasihani

    Semangat dek, di luar sana masih ada kok yang nggak menerapkan stigma tersebut mentah-mentah :)

    BalasHapus
  5. Duh, kasian banget. Kok bisa sampe lolos ya kantong darah yang mengandung HIV? masa gak dicek sama pihak rumah sakitnya. Semoga anak itu tetap kuat. diberkati, dan panjang umur.

    Sedih banget baca ginian :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukannya gak dicek, baaaang. Tapi pas dicek, itu emang HIV nya belum bisa kedeteksi. Biasanya kita sebut sebagai window period, sih, bang.

      Tapi ya gak tau juga sih ya. Kejadiannya udah belasan tahun lalu :(

      Hapus
  6. Itu... kenapa bisa ya :( bisa-bisanya dapet transfusi darah dari orang yang pengidap HIV :' Sedih :(

    Kalimat-kalimat diakhir, serasa digampar-gampar :')

    BalasHapus
  7. Huaaaaaa. Sedih baca gini. Apalagi pas di kalimat, "Kisah ini nyata adanya." Sama kayak Erdi dan Azka, aku juga heran kenapa bisa lolos darah yang terinfeksi HIV itu. Tapi bener kata kamu, Dar. Mana kita tau sistem transfusi waktu dulu itu kayak gimana. Mungkin memang kurang teliti atau apa :(

    Soal melabeli, kebanyakan orang punya kebiasaan kayak gitu ya. Melabeli, apalagi dilabeli sembarang orang dengan label seenak jidat yang dilihat dari luarnya aja itu nggak enak banget. Huhuhu. Baiknya dan harusnya kita ngebaca diri kita sendiri dulu, baru dengan sengaknya baca orang lain. Eh iya gitu nggak sih, Dar? :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sih curiganya si orangnya donor pas baru terinfeksi HIV, Cha. Jadi, walaupun dites, tetep hasil tesnya bakalan negatif...

      Digituin aja deh, Cha :)

      Hapus
  8. Hmm, turut sedih deh buat si adik kecil. Semoga bisa lekas sembuh, HIV masih bisa disembuhkan kan?

    Baru tau kalau virusnya ternyata bisa berkembang lama ya, padahal si adik sudah ditransfusi sejak kecil tapi virusnya. Aneh aja sih kok darah yang mengandung virus bisa aja ditransfusikan, harusnya kan dites dulu ya..

    Semoga si adik selalu diberi kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya, Ki, HIV gak bisa sembuh. Sampai saat ini adanya cuma obat buat memperlambat progress penyakitnya...

      Bisa lama kok... Tapi jarang kalau infeksi HIV di anak yang perkembangan virusnya selama ini. Hanya di sebagian kecil anak saja. Itu kayaknya darahnya pastinya udah dites, Ki...

      Hapus
  9. Kok bisa gitu yaa, nyawa orang jadi taruhan karna kelalaian orang kesehatan sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm gimana ya... Gak bisa dibilang kelalaian tenaga kesehatan juga sih, Jov...
      Karena ya bisa jadi pada saat tes, itu emang belum bisa kedeteksi HIV nya :(

      Hapus
  10. Ya alloh dar ini true story
    Kalo iya mah sungguh ku ga bisa berkata kata
    Klo salah transfusi gitu dari sisi medis bisa dicek ga sih darah yang ngandung hiv itu kliatan ga gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di PMI pasti ada skriningnya Mba Nit... Jadi ya seharusnya darah yang ada HIV sama hepatitis B pasti gak bakalan lolos.
      Nah kalau ini nih pengecualian deh sepertinya. Mungkin aja orangnya donor pas masih window period HIV. Jadi emang belum bisa dideteksi :(

      Hapus
  11. Turut berduka *tear
    Sungguh malang nasib anak itu, sudah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan HIV malah tertulat tanpa sengaja.
    Gimana kondisi anak'a sekarang Dar?

    BalasHapus
  12. seseorang yang meninggalkan dirinya sendiri? hmm, jadi semacam paradoks. waduh, HIV itu emang ganas abis. serius, itu sih sad story banget yak. i'm so sorry for her.memang musibah itubisa menimpah siapa saja, dengan cara apa saja. huhhh

    BalasHapus
  13. Sedih baca ceritanya, apalagi pas tahu kalo itu cerita nyata. Meskipun memang ada kesalahan atau ketidakakuratan di satu pihak, gua ga bisa menyalahkan pihak manapun, toh namanya kematian cuma Allah yang tahu skenarionya. Bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan dalam situasi apapun. :(

    Mengenai stigma... ah, pemaparan lo keren, Dar. Gua speechless pas baca kalimat: "Bagaimana mungkin kita masih terus-terusan menatap tajam kepada orang lain? Padahal, kita sendiri tak pernah tahu bagaimana akhir hidup kita." Semua orang bergelut dengan problematika hidupnya masing-masing, dan kita pun juga begitu. Kita ngga tahu pasti apa yang sudah dilalui seseorang semasa hidupnya. Meskipun suatu hal itu tidak baik, pasti ada hikmah yang menyertainya.

    BalasHapus