Minggu, 08 Mei 2016

Untukmu, Lelaki Baik. Semoga Kamu Baik-Baik Saja

Awalnya, kupikir kamu adalah sosok yang tidak banyak bicara, dan lebih sering terlihat serius daripada tersenyum. Tapi kemudian aku yakin bahwa asumsiku terhadap dirimu selama ini, kebanyakan salah. Ternyata kamu adalah sosok yang juga suka mengoceh. Kadang menertawaiku. Kadang menasihatiku. Kadang mengejekku. Tapi lebih sering memberikan penyelesaian atas setiap masalah yang kumiliki tanpa menimbulkan masalah lainnya. Lah, kamu jadi seperti pegadaian bila kudeskripsikan seperti ini.

Aku tak pernah berpikir untuk merawat perasaan yang tak bisa diklasifikasikan hingga selama ini. Maksudku, bukankah ini sudah berjalan selama 8 tahun lebih? Untuk ukuran cinta-cintaan, suka-sukaan gak jelas yang kerap dialami anak muda, bukankah rentang waktu ini begitu berlebihan?


Aku pun tak pernah menyangka bahwa sekarang, kita bisa menjadi sedekat ini. Awalnya, kupikir bahwa ada sekat yang membatasi kita, sebuah jurang yang aku yakini bahwa itu benar-benar ada. Tapi tidak denganmu. Kamu selalu berjalan kemanapun kamu mau, karena katamu, rintangan yang ada memang harus dilewati, kan? Dan kamu, memilih untuk berjalan menujuku. Dan kamu, membuatku yakin bahwa selama ini, aku lah yang membuatmu terpenjara dalam dinding persepsi yang kuciptakan sendiri.

Asal kamu tahu, Mama mengenalmu dengan cukup baik. Tapi tidak sebaik aku mengenalmu.

“Ra, kemarin Mama ketemu sama Tante Yuli…”

“Oh, Mamanya Rey? Kenapa, Ma?”

“Iya… Katanya kan kamu sama Rey udah lama kenal dekat, dan sekarang kalian udah sama-sama dewasa… Mamanya mau ngejodohin gitu. Kamu mau?”

Jika itu benih tanaman, mungkin 8 tahun akan membuatnya tumbuh menjadi pohon kokoh yang menjulang tinggi. Lalu bagaimana denganku?

“Kayaknya nggak, deh, Ma… Anaknya playboy gitu…”

Benih yang ada padaku ini tak pernah ingin kutanam. Sebab aku takut menuainya. Sebab ini bukan benih biasa.

“Hmm… Kalau gitu, nanti Mama sampaikan ke Tante Yuli, ya.”

“Iya, Ma…”

Hening. Kemudian ada sesuatu yang menggantung di udara. Kemudian jeda. Dan sesuatu itu seperti sesak yang menyumbat paru-paru.

Kamu itu baik. Tetapi bukan hanya baik kepadaku. Bukan hanya baik kepada kedua orang tuamu. Bukan hanya baik kepada teman lelakimu. Tapi juga baik pada semuanya. Termasuk, pada perempuan-perempuan lainnya juga.

Aku yang sering mengatakan bahwa kamu adalah seorang playboy. Dan kamu hanya akan tertawa setiap aku berkata seperti itu. Memberi label kepadamu memang mudah. Toh, kamu tidak pernah menyangkalnya. Bagiku, memberi label padamu itu seperti merangkai hipotesis-hipotesis jumawa, hingga waktu yang akan mengungkap kebenarannya.

Apakah aku cemburu pada kebaikanmu?

Maka, menjadi pendamping bagi orang sepertimu akan sangat berat. Sebab itu berarti, pendampingmu nanti harus lapang hatinya. Karena ia tak mungkin memilikimu seorang diri. Karena ia harus siap berbagi tentang dirimu dengan banyak sekali orang.

Aku tidak tahu, apakah aku bisa menjadi seperti itu atau tidak. Aku tidak ingin mengatakan bahwa kamu terlalu baik buatku. Tidak. Tidak akan pernah. Karena berkata seperti itu, berarti akan memutuskan potensi-potensi kebaikan besar yang seharusnya dapat kulakukan.

Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kelak, cukup menjatuhkanku sekali saja. Kepada orang yang tepat. Pada saat yang tepat.
Tetapi… bagaimana mungkin, aku bisa dijatuhkan dua kali kepadamu? Apakah Tuhan tak pernah mengabulkan doaku?
***

Kamu tahu, apa yang lebih penting daripada perasaan?
Bukti.
Bagiku, bukti jauh lebih penting daripada perasaan.
Dijatuhkan sebanyak dua kali kepadamu tidak serta merta membuatku yakin bahwa kamu adalah seseorang yang tepat untuk ditunggu.
Bagiku, dijatuhkan padamu hingga sebanyak dan selama ini adalah bukti bahwa memang ada yang punya kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia.
***


Khatulistiwa, awal Mei 2016.

Assalamu’alaikum!
Udah lama, nih, gak nulis fiksi :)
***


Aleppo berdarah.
Lilin dinyalakan untuk Yuyun.
Ada dosen yang entah diapakan oleh mahasiswa.


Rasanya, dunia sekarang ini makin tidak baik-baik saja. Semoga bukan hanya kamu, tapi dunia ini, dengan segera akan menjadi baik-baik saja.


Update: Cerita versi Rey bisa dibaca di sini.

10 komentar:

  1. Aku bingung ini fiksi atau cerita pribadi ?
    Hm iya dunia semakin tidak baik baik saja, memang dari diri sendiri yang harus memulai menanamkan kebaikan.

    Mengenai ia yang kamu anggap sebagai playboy karena baik kepada siapapun, dalam tulisan disini. Tidakkah itu terlalu.. maaf.. egois ?

    BalasHapus
  2. Semoga dia bisa membuktikannya...

    BalasHapus
  3. Kayaknya awal mei ini penuh dengan insiden ya.
    Banyak perang, teror juga di mana-mana.

    Ya, semoga dunia semakin baik-baik saja.

    Aku udah mulai nulis lagi mbak, tapi masih terlalu dasar. Bisa dilihat di blog. Makasih.

    BalasHapus
  4. tuhan maha adil, 2 kali dijatuhkan sudah lebih dari cukup untuk langkahmu kedepan. dia yang kamu cap, mungkin bisa berubah dilain waktu. ayolah, bilang mama, suruh bilang ke tante yuli, "iya, mau" gitu ra :D

    dunia ini bukan akan baik-baik saja, mungkin dunia ini sudah tak lama, ini itu terjadi dimana-mana, sebagian manusia sudah menyerupai hewan, malah tingkah lakunya bisa lebih dari itu~

    BalasHapus
  5. Dara hebaaat. Aku tadi sebelum dikasih tahu kalo ini fiksi nggak kefikiran sama sekali, loh. Soalnya tokohnya "Ra", kirain beneran kamu .___.
    Atuhlah si Eneng, baper euy tiap baca diksinya. Kereeeen.
    Eh tapi agak bingung yang bagian terakhir. Itu masih sambungan cerita apa gimana, sih, Ra? :o

    BalasHapus
  6. Setia banget sampe 8 tahun masih menaruh hati pada orang yang sama. Kalau bukan karena ikatan pernikahaan mungkin aku sudah berpaling karena berlomba dengan usia, as a woman, kita gak akan selamanya muda.

    BalasHapus
  7. Waalaikumsalam..

    Udah kenal 8 tahun padahal, itu kurang apa. Kalau umur manusia, sudah punya anak kelas 2 SD kali.
    Iya juga ya, dunia semakin nggak aman. Semoga kita semua selalu diberi keselamatan ya..

    BalasHapus
  8. Whoaaaaa. Ini serius fiksi, Dar? Asli, berarti kamu sukses bikin aku cengo pas baca bagian yang terakhir-terakhir. :'D

    Doanya ya ampun. Nyess banget. Dan iya, Dar. Bukti jauh lebih penting daripada perasaan. Kalau postingan ini ditulis di buku, kalimat itu udah aku stabiloin :)

    BalasHapus
  9. Aku baca tulisan dari Rey dulu, baru dari sudut seorang Dira. Nggak papa kan, Dar. Hehehee

    Gilaaaaaakkk bener bangeet Dar. Bukti jauh lebih penting daripada perasaan. Aku butuh bukti sekaraaang. Aaaaakkk

    Endingnya :(

    BalasHapus
  10. Hehe, udah kayak pegadaian ya deskripsi yang di kalimat awal: "menyelesaikan masalah tanpa masalah" :D

    Fiksinya keren Dar, gua pikir tadinya beneran. Diksi yang lo pake mantap, khususnya kalimat: "aku lah yang membuatmu terpenjara dalam dinding persepsi yang kuciptakan sendiri". Namanya persepsi, jelas tergantung setiap individu, padahal belum tentu demikian adanya. Delapan tahun lama juga tuh, dan butuh suatu kepastian kalo mau melangkah lebih lanjut.

    Bukti jauh lebih penting dari perasaan, setuju Dar :D

    BalasHapus