Rabu, 09 Maret 2016

Lintasan Har(apa)n


Kita mungkin satu di antara sekian banyak manusia yang tenggelam dalam hiruk pikuk dunia. Berlomba-lomba, berkejar-kejaran, sikut-menyikut. Oleh karena apa?

Oleh karena sesuatu yang kita sebut sebagai harapan.

Ingin menjadi apa kita sebenarnya?
Bagaimana cara mencapainya?
Dengan siapa kita akan membersamai masa-masa perjuangan tersebut?
Harapan, yang selama ini kita perjuangkan dengan alibi untuk membuat bangga dua malaikat yang telah merawat kita hingga bisa berlari sejauh ini, setinggi ini tumbuh.

Harapan, yang selama ini kita perjuangkan dengan alibi agar bermanfaat bagi anak cucu kita kelak, yang bahkan belum pernah kita jumpai wujudnya, belum pernah kita lihat senyumannya.

Tapi, pernahkah kita menanyakan kepada kedua orang tua kita, sanak famili, sahabat dekat, apa yang sebenernya perlu kita lakukan untuk mereka? Apakah yang sebenar-benarnya mereka harapkan untuk kita menjadi?

Pernahkah kita melihat menggunakan hati, apakah yang sebenarnya diharapkan orang-orang dari kita yang mungil ini? Yang dulu, saat tertatih belajar berjalan, sering jatuh berkali-kali? Yang dulu, saat riang belajar menyanyi, nadanya sumbang disana-sini? Pernahkah?

Sudahkah kita dapatkan jawabannya?

Apakah pencapaian-pencapaian kita saat ini memang bermanfaat seperti yang kita kira? Ataukah hanya ego yang mendekam dalam jiwa kita? Dan kitalah yang sebenarnya butuh untuk merealisasikannya?

Adakah angan-angan dan harapan itu telah kita sandarkan pada tempat yang benar? Yang kelak, ketika badai dan topan besar datang, ia tak akan mudah – atau tak akan pernah runtuh?

Terlebih, masihkan Tuhan menjadi sebab atas setiap ikhtiar yang kita lakukan?

Boleh jadi, hati dan pikiran kita seringkali dilintasi oleh harapan-harapan baik. Oleh harapan-harapan yang orang banyak berpikir bahwa pundak kita adalah bidang yang tepat untuk memikulnya. Tapi, untuk membuat harapan itu mewujud, kita perlu upaya yang besar. Upaya yang kita sendiri seringkali ragu, apakah kita benar mampu. Sehingga terkadang kita jadi takut, bahwa harapan ini salah memilih tuan. Bahwa harapan ini tak akan pernah mampu kita realisasikan.

Lalu kita pernah terpikir untuk menyerah. Untuk kemudian sadar penuh akan segala keterbatasan kita, atas segala yang membuat kita dhaif. Tetapi untuk menyerah, kita akan ingat pada awal yang sulit saat membangunnya. Atas segala jerih yang ada saat permulaan. Atas segala peluh yang mengawali. Kemudian kita merasa sungkan, apakah segala usaha ini harus dihentikan karena kita merasa tak mampu? Apakah dengan menyerah di pertengahan jalan, itu artinya kita sudah bersungguh-sungguh?

Dan kita dibuat sadar, semakin tinggi harapan yang kita gantungkan, semakin nyata bahwa tempat bergantung kita tidak lain ialah Tuhan.



Karena lelahmu tak akan percuma. Selamat berjuang, darah muda!


Yang kita sering lupa, sebesar apapun kita menjadi, bahwa dasarnya, kita tetaplah manusia.
Yang diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan ke tanah pula.
Yang merupakan ciptaan paling sempurna, tapi tak ada satupun dari kita yang sempurna.
Yang apabila dilihat dari atas awan sana, kita hanyalah sebesar biji kacang hijau yang kalau beli seharga seribu rupiah, akan dapat banyak sekali. Tetapi apabila disirami dengan baik, akan tumbuh menjadi kecambah yang menjulang tinggi, mengikuti arah matahari.


Kita, seringkali lupa akan hal ini.



Khatulistiwa, 09032016.
Tadi pagi ada gerhana matahari~

40 komentar:

  1. untuk membuat harapan itu mewujud, kita perlu upaya yang besar. Upaya yang kita sendiri seringkali ragu, apakah kita benar mampu. Sehingga terkadang kita jadi takut, bahwa harapan ini salah memilih tuan. Bahwa harapan ini tak akan pernah mampu kita realisasikan. Pernah banget ngalamin yang kaya gini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya mayoritas darah muda pernah ngalamin yang seperti ini, bang :)

      Hapus
  2. untuk membuat harapan itu mewujud, kita perlu upaya yang besar. Upaya yang kita sendiri seringkali ragu, apakah kita benar mampu. Sehingga terkadang kita jadi takut, bahwa harapan ini salah memilih tuan. Bahwa harapan ini tak akan pernah mampu kita realisasikan. Pernah banget ngalamin yang kaya gini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang di atas udah kubales, bang. Jangan komen dobel napah :p

      Hapus
  3. Artikel ini gua baca di malam hari, dan sukses membuat gua merenung dengan untaian pertanyaan & pernyataannya. Keren.

    Setiap manusia tentu punya harapan. Harapan itu hadir untuk memompa semangat manusia dalam beraktivitas. Bener pertanyaan lo: "Pernahkah kita melihat menggunakan hati, apakah yang sebenarnya diharapkan orang-orang dari kita yang mungil ini?" Bisa aja kita udah melakukan yang terbaik bisa kita perbuat, tapi ternyata hasilnya ngga sesuai dengan harapan orang lain. Hmh...

    Masalah menyerah, itu memang mesti dihindari, meski gua sendiri pun kadang kebentur sama kata mengerikan itu :p
    Manusia kadang menyerah di tengah jalan selagi usahanya udah gencar, padahal Allah tidak akan memberi ujian pada hamba-Nya di luar kemampuan mereka. Jadi kalimat ini bener banget: "Semakin tinggi harapan yang kita gantungkan, semakin nyata bahwa tempat bergantung kita tidak lain ialah Tuhan."

    Selamat berjuang juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba dibaca lagi di siang hari, mas. Apakah akan sama merenung?

      Hmh~

      Yosh! Selamat sama-sama berjuang :))

      Hapus
  4. Touching!!! Rangkaian katanya seperti cermin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selama cerminnya gak retak, gak masalah, mas :D

      Hapus
  5. Iyah, memang pada akhirnya toh Tuhan lah tempat bergantung..
    Harapanku banyak, usahaku masih minim... heheheh
    Yah mudah2an tahun ini bisa lebih baik lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. (((Harapanku banyak, usahaku masih minim)))
      Samaan, mbak.
      Mudah-mudahan :)

      Hapus
  6. baca postingan ini seperti saya bertanya kepada cermin tentang apa yang ingin kucapai di masa depan dan apa tujuan hidup setelah ini.
    tulisannya bagus dan mengena kepembaca. Nice
    Percaya dalam gelap, sinar kan menyala harapan pasti ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama :)

      Karena yang bersinar pun tak akan tampak bila diletakkan pada tempat terang~

      Hapus
  7. Karena lelahmu tak akan percuma. Selamat berjuang, darah muda!

    AllahuAkbar!!
    Mulai sadar betapa perihnya menggantung harap pada sesama manusia. Satu-satunya tempat bergantung yang tak akan melahirkan perih hanya Allah SWT. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal pengen gelantungan di pohon cabe aja, Dib. Supaya bisa makan yang pedes-pedes terus :p

      Hapus
  8. Balasan
    1. Mohon saya dipanggil mbak saja, jangan dipanggil mas.


      Karena apakah om/tante pengobatan tradisional bronkitis berkenan apabila saya panggil dengan sebutan "pengobatan tradisional faringitis"?

      Hapus
  9. Salah Dar, Berlomba-lomba, berkejar-kejaran, sikut-menyikut itu bukan karena harapan tetapi karena berdesakan di kereta mau pulang kampung.

    intruksi Bu Dok
    kata siapa kita diciptakan dari tanah?
    bukan'a kita terlahir dari air mani

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terserah kamu aja, Ki Sanak.


      Kata siapa kita diciptakan dari tanah?
      Kata Tuhan saya.
      Dan menurut firman dari Tuhan saya, manusia diciptakan dari air yang hina (mani) juga kok.

      Jadi, penciptaan manusia baik yang dari tanah dan juga mani bukanlah hal yang kontradiktif :))

      Hapus
  10. Setuju mba Dara. Nggak ada tempat menggantungkan harapan selain kepada Allah swt.
    Selesai baca tulisan ini, aku jadi mulai mikir kalo usaha yang selama ini aku lakukan untuk mewujudkan harapan, selalu minim. Huhuuu.. Aku juga anaknya gampang nyerah. :(

    Selamat berjuang, para darah muda! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Usaha kamu masih minim, Lan? Belum berkembang pesat? Mungkin kamu kurang semangat nyari downline. Atau kurang sigap dalam mencari peserta-peserta seminar yang potensial~ *dikira MLM*

      Gampang nyerah juga gapapa. Asal gampang bangkit lagi :)

      Hapus
  11. Berharap itu kadang menyakitkan kalau sebuah harapan tak sesuai kenyataan, maka dari itu sebagai manusia jangan terlalu berharap berlebihan, betul nggak kak? :)

    widazee.blogspot.co.id

    BalasHapus
  12. Buset. Tulisannya bikin merem melek. Di satu sisi dibikin sadar, disatu sisi dipaksa serius bacanya. Huhuhu.
    Setujuuu. Kadang kita lupa kalau kita hanya manusia biasa yang sudah larut dalam ketakutan dan kekhawatiran masa mendatang. Terima kasih sudah menyadarkan kembali, cantik. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan serius gitu ah, Dev. Aku masih belum siap buat serius ini :p

      Terima kasih kembali, cantik :)

      Hapus
  13. wa wa wa... dalem banget ini. bacanya mesti pelan-pelan juga ini biar berasa ke urat saraf terdalam.

    banyak orang yang bilang, aku mau jadi ini jadiitu agar bisa membahagiakan orangtua. Padahal, sejak kecil orangtua kita mendidik dan mengajarkan kita untuk menjadi orang yang baik, ramah dan sopan. dan itulah yang mereka inginkan agar mereka bahagia. tapi karena ada harapan lain yang kita buat sendiri, kita malah seringkali mngabaikan ajaran dan keinginan orangtua kita itu. singkatnya, orangtua menginginkan kita menjadi orang baik dna itu yang membuat mereka bahagia, tapi kita malah memperumitnya dengan menginginkan jadi orang yang memeluk dunia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Urat saraf terdalam? Nervus yang mana itu, bang? Spinal? Kranial?


      Nah, itu dia poinnya :)
      Kita sendiri kan yang bikin rumit dengan ingin memeluk dunia. Padahal mah meluk yang halal aja belum bisa. Haks

      Hapus
    2. tau ah...

      bentar, dar... kambing itu halal kan kalo dimakan? aku pernah meluk kambing loh. *niatnya bangga, tapi kok kayak... ...*

      Hapus
  14. "Yang kita sering lupa, sebesar apapun kita menjadi, bahwa dasarnya, kita tetaplah manusia.
    Yang diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan ke tanah pula"
    merinding bacanyaaaa O.O

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan merinding gitu ah, kak. Bukan tulisan horor kok ini :')

      Hapus
  15. Daraaa, postingan ini dalem. Jangan bilang kalau kamu lagi nggak nyebur atau apa. Pokoknya ini dalem. Aku bacanya ini sambil nunggu cucian digiling mesin cuci. Dan aku jadi mikir, harapanku selama ini banyak, juga rumit. Bertele-tele, selangit. Sedangkan harapan Mamaku ke aku sederhana, aku jadi anak penurut. :')

    Selamat berjuang! Postingan ini bikin yang nyerah jadi terpacu semangatnya, bikin optimis. Dan bikin nggak lupa kalau kita harusnya berusaha diiringi dengan berdoa kepada-Nya ya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Cha. Aku gak bakal bilang kalau aku lagi nulis ini di sumur kok~

      Kita juga sebenernya ya boleh-boleh aja punya harapan untuk diri sendiri yang selangit, karena itu hak kita. Ingin jadi apa kita? Ingin terbang setinggi apa? Sah-sah aja, kok, Icha sayang :)

      Siap grak! You get the point :)

      Hapus
  16. Perihal harapan, hanya itu yang saya punya dalam setiap keterbatasan yang ada di dunia. Perihal harapan, hanya dengan harapan semua ketidakmustahilan seolah-olah bisa menjadi nyata. Perihal harapan, dengannya semua mimpi bisa terjadi asal kita percaya bahwa kita bisa meraihnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kelihatannya tidak ada yang mustahil apabila kita optimis, dan juga yang terutama, apabila Allah berkenan :)

      Hapus
  17. Oh well, Dara pinter banget ngerangkai katanya jadi menyentuh semua orang yang baca artikel ini dan kenapa ya isi artikel ini kayanya lagi gue cari saat ini, well, berarti dara sukses memenuhi keinginan pembaca, good job.

    Thanks for your article Dara. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Well, aku gak berusaha memenuhi keinginan pembaca, kok, Gung. Aku berusaha menuliskan apa yang perlu aku tulis. Dan ini, sebenarnya note to self yang aku bikin sebagai pengingat buatku :)

      Hapus
  18. Pas banget baca ini. Karena saat ini ada beberapa hal yang memang meragukan harapan gue. Hehehehe.

    Kayaknya gue mau merenung dulu ah.

    BalasHapus
  19. Edisi ngesyahdu ala dara telah kembali
    Yup ngomongin darah muda, emang pada fase fase ini sedang baper bapernya mikirin masa depan kan,

    Jadi pingin nyanyik lagunya bang haji..tp bukan saipul wokwow

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah elah, ngesyahdu paan, Mbak Nit -_-

      Susah juga nih yang udah ngelewatin fase-fase baper :p

      Hapus