Kamis, 01 Juni 2017

Elegi. Lagi-lagi Elegi.


image source

Dara...
Pasien Umi meninggal.

Begitulah dua patah chat dari Umi, teman kuliah saya, yang dikirimkannya kemarin sore. Menceritakan tentang pasien pertamanya yang meninggal dunia, dan betapa hal tersebut membuatnya jadi lumayan “syok”.

Saya tahu bagaimana rasanya mendapati kabar tentang kondisi-kondisi pasien yang makin hari makin mengalami perburukan, lalu berujung pada keberpulangannya menghadap Sang Pencipta. Membuat saya kembali mengingat minggu-minggu awal memasuki kepaniteraan klinik. Tentang bagaimana rasanya, menjadi pembatas antara pasien dan liang lahat. Berada di saat-saat terakhir. Melakukan bantuan hidup sebisa mungkin, walaupun dalam beberapa keadaan, hanya bisa menunggu organ-organ vital pasien benar-benar berhenti bekerja karena pihak keluarga tidak memberikan ijin untuk melakukan pertolongan terakhir.

“Biarkanlah dia pergi dengan tenang. Penderitaannya jangan ditambah lagi...” Kalimat seperti ini sudah beberapa kali terdengar, dan saya hanya bisa mengangguk meng-iya-kan. Menunggu alat rekam jantung menampilkan garis datar. Lalu mengabarkan jam kematian.

Melihat seseorang yang sedang berjuang melawan maut tentu saja tak mudah. Tak pernah. Tak akan pernah mudah. Seberapa seringpun kamu berhadapan dengan kematian, tak akan membuatnya terlihat jadi lebih mudah untuk dilalui. Isak tangis yang terdengar. Lantunan ayat-ayat suci. Air mata yang berlinangan. Semua energi yang dikerahkan. Dan penerimaan. Bahwa apa yang telah ditakdirkan sudah pasti merupakan yang terbaik.

Perpisahan itu selalu menyakitkan. Bagaimanapun suasana di akhirnya. Sungguh.

***

Bukankah sejak awal mula, kelahiran kita, sesungguhnya adalah akhir? Dan kehidupan kita, pada hakikatnya adalah perjalanan untuk (ber)pulang?


Rumah, saat hujan pertama di bulan Juni.

13 komentar:

  1. Iya, perpisahan memang menyakitkan, Dar. :( Terus karena lu sebut soal hujan pertama bulan Juni, entah kenapa mengingatkan gue tentang puisi Hujan Bulan Juni. :')

    tak ada yang lebih tabah
    dari hujan bulan Juni
    dirahasiakannya rintik rindunya
    kepada pohon berbunga itu

    BalasHapus
  2. Aku pernah diceritakan juga ama temen yang anak keperawatan, ketika mereka praktik di rumah sakit, waktu dia bertugas mengurusi bapak2/kakek2 gitu, dan mau memasang alat/selang kencingnya atau apa ya.. agak lupa.. tiba2 ketika dipasang, pasiennya teriak dan langsung meninggal. dia ama temennya saling tatapan... gatau gimana perasaannya waktu itu..

    Hidup hanya persinggahan, karena ada tempat yang akan didatangi untuk kekelan. Perpisahan selalu menyedihkan, tapi tidak untuk dijadikan ratapan, karena kita tidak tau setelah perpisahan sudah menanti kebahagiaan. namun, bukan berarti tak boleh dilepas dengan tangisan. puaskanlah perasaan yg minta diluapkan...

    njir, aku nulis apaan dah di paragraf dua itu...


    Kosan, saat hujan yang sama tak berkesudahan

    BalasHapus
  3. Postingan ini ditambah komen Haw bijingek, bikin aku ngerasa ikutan syok juga, Dar. Karena itu yang aku suka. EH ENGGAK. Karena itu soal kematian. Dan kematian itu menyedihkan bagi yang ditinggalkan :(

    Entah aku bakal gimana kalau aku jadi kamu, Umi, dan teman-teman kamu yang lain. Yang 'menghadapi' perpisahan semacam itu. Kalian tangguh sekali dan tetap kelihatan tangguh meskipun kamu mengakuin kalau tak akan pernah mudah menghadapi perpisahan itu. Kalau aku jadi kalian, mungkin aku bakal nangis kejer tiap hari. Sambil bergumam "Teman sejati hanyalah amal.." Huhuhuhuhu.

    Btw, Dara dah nonton Autopsy of Jane Doe? Aku baca ini kok jadi langsung ingat film itu ya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk teman sejati hanyalah amal... *sambil nyanyi*

      Hapus
  4. :)) Gatau mau komen apa nih mbak Dar kalo udah ngomong perihal kepulangan.
    Dan yg bikin merenung lama adalah kalimat di paragraf terakhir.

    BalasHapus
  5. Ya Rabb...
    gak bisa komen apapun,
    cm mau menghayati benar :(

    BalasHapus
  6. Kadang gitu. Saya heran, kenapa banyak temen-temen saya, khususnya cewek, punya keinginan besar jadi dokter. Padahal, dari cerita ini aja, kita tau jadi dokter tuh butuh proses panjang banget: kuliah lama, saingan banyak, terkenal mahal (kecuali Unpad, denger dari temen katanya gratis), dan penuh risiko. Ternyata, sayanya aja yang cemen. Mereka lebih berani buat punya mimpi dan seolah siap ngadapin risiko-risiko itu. Salut untuk semua dokter di dunia. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Unpad yang gratis itu yang program ikatan dinas dari pemda Jabar kalo gak salah, Rob... Salut juga sama Robby!

      Hapus
  7. Jadi teringat kisah Sherlock yang versi Elementary, pasiennya meninggal.. hmm.. jd gag tau mesti bilang gimana.. Keep it up ajja deh..

    Belajar Photoshop

    BalasHapus